https://search.google.com/search-console/removals?resource_id=https%3A%2F%2Fzetende.blogspot.com%2F

Tuesday, June 19, 2012

Community-based Disaster Risk Reduction


Oleh: Zainuddin Maliki


          Today there was an increase environmental crisis that pose a growing number and intensity of catastrophic events. Environmental crisis, among others, characterized by climate change, the transition of seasons can not be predicted, elevated sea levels, and uncontrolled forest fires. The environmental crisis has led to a variety of critical situations. Not infrequently, then turned into a huge disaster and the rapidly accident. All the factors put the people, systems and structures become dysfunctional. Not just health, and economic prosperity but the survival of a society is threatened.
          Perlindungan masyarakat dari ancaman bencana haruslah dilakukan oleh semua pihak, pemerintah, pengusaha maupun masyarakat. Tentu saja yang paling mendesak adalah menumbuhkan kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk melindungi diri sendiri dari ancaman dan resiko bencana. 
Setidak-tidaknya ada 5 hal yang menyebabkan pentingnya melakukan penguatan masyarakat dalam melindungi diri sendiri dari bencana.
         Pertama, masyarakat itu sendiri yang menjadi korban dari bencana. Maka yang bergerak pertama kali merespon bencana adalah masyarakat dan bukan pihak lain. Team reaksi cepat yang disiapkan pemerintah acapkali datang terlambat. Padahal masyarakat sudah harus merespon bencana sejak menit-menit pertama. Kita membutuhkan masyarakat memiliki kemampuan melakukan pengurangan resiko bencana sebelum bantuan orang lain tiba. Masyarakatlah yang terkena bencana, dan paling awal harus berbuat. Oleh karena itu masyarakat harus memiliki kemampuan penguasaan sumber daya, cara dan kekuatan untuk mengurangi tingkat risiko bencana. Masyarakat harus memiliki cara mempertahankan dan mempersiapkan diri, mencegah, menanggulangi, meredam, serta dengan cepat memulihkan diri dari akibat bencana. 
         Kedua, tidak banyak yang bisa diharapkan dari pemihakan kebijakan pembangunan, karena kebijakan pembangunan –khususnya industri ekstraktif, sebagaimana digambarkan di muka acapkali tidak berpihak kepada perlindungan kepentingan dan keselamatan masyarakat banyak. Kenyataan ini membenarkan pemikiran para penganut Marxian, bahwa pada akhirnya, yang bisa membela dan melindungi rakyat kecil, adalah rakyat kecil itu sendiri. Dalam konflik kepentingan antar klas, maka klas pekerja dan wong cilik harus melindungi diri sendiri. Sulit mengharap kepekaan kalangan elite, wong gedhe, pemilik modal atau kaum borjuis untuk memperhatikan kepentingan dan keselamatan rakyat kecil, klas pekerja atau kaum proletar. Dalam konteks inilah maka menjadi penting dilakukan penguatan masyarakat kecil agar mereka memiliki  kemampuan dan daya tahan menghadapi krisis lingkungan dan bencana.[1]
        Ketiga, membangun ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana, yang paling efektif apabila berbasis masyarakat (bottom up approach). Intervensi dari pemerintah dan pihak lain (top down approach) –sebelum, pada saat tanggap darurat maupun paska bencana, acapkali a-historis sehingga bisa menjadi tidak berjalan karena tidak memperhatikan harapan dan konstruk masyarakat tentang bencana. Banyak pengalaman menunjukkan masyarakat kehilangan kemandiriannya ketika terlalu banyak program intervensi –apalagi intervensi itu diwujudkan dalam bentuk program yang bersifat karitatif. Masyarakat tidak bisa menjadi subyek bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu, kita perlu mendengar saran kalangan pemikir teori kritis (critical theory) yang menyatakan bahwa meningkatkan kualitas hidup manusia –termasuk di dalamnya cara merespon bencana, haruslah dengan cara mengembangkan dan meningkatkan kesadaran diri (self-consciousness) dan memahami perkembangan sosial politik yang ada, yang pada muaranya “manusia harus dapat menjadi subyek dan secara aktif menentukan cara hidupnya sendiri.”[2]
         Keempat, paradigma penanggulangan bencana bergeser dari tanggap darurat kepada pendekatan mitigasi dan preparadness.[3] Dalam upaya melakukan mitigasi dampak bencana itulah, sangat diperlukan pemahaman terhadap prinsip-prinsip dinamika yang berubah begitu cepat dalam fenomena alam. Dalam konteks mitigasi, maka perubahan iklim yang menjadi sebab munculnya bencana tersebut seharusnya menjadi pusat perhatian.
        Kelima, masyarakat selalu memiliki pengetahuannya sendiri (indigenous knowledge) dan strategi atau cara mereka sendiri (coping strategis) dalam merespon bencana. Pengetahuan mereka tak jarang jauh lebih bagus dibanding yang dimiliki ekspert di bidang bencana sekalipun. Dengan pengetahuan dan strategi mereka sendiri itulah yang menyebabkan mereka survive. Begitu banyak masyarakat akhirnya bisa bertahan dengan survival strategy –nya sendiri. Itulah sebabnya Brian Ward, mantan Direktur Asian Disaster Preparadnes Center, sangat apresiatif terhadap keunggulan petani di Bangladesh, bukan hanya dalam memahami betapa rentan mereka menghadapi bencana, tetapi juga dalam mengatur strategi merespon bencana. Brian bahkan berani mengatakan petani di Bangladesh memiliki pengetahuan lima belas tahun lebih maju dibanding seorang Ph.D.[4]

             [1] Baca pemikiran pemihakan terhadap mereka yang lemah dari kalangan pemikir Marxian dalam Zainuddin Maliki, Rekonstruksi Teori Sosial Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012. Mengenai pandangan pemikir Marxian tentang kerusakan lingkungan dan pengasingan masyarakat lokal dan para petani dari tanah ulayatnya sendiri akibat eksploitasi ekonomi kaum kapitalis dapat dibaca dalam John Hannigan, Environmental Sociology, London and New York: Routledge, 1995, hal. 8. 
[2]  Ibid, hal. 223 
[3] Termotivasi dari kehancuran 26 Desember 2004 akibat gempa dan Tsunami Samudra Hindia, paradigma bencana bergeser dari pengelolaan tanggap bencana (Disaster Response) menjadi pengurangan resiko bencana (Disaster Risk Reduction), lihat DIBI BNPB-UNDP, 2010.
            [4] Survival strategy warga pinggiran Sungai Jamuna Bangladesh cukup unik. Mereka sudah mencari shelter sebelum bencana datang. Yang mereka lakukan penduduk tepi sungai Jamuna itu adalah mengawinkan anaknya dengan keluarga yang berada di daerah aman. Oleh karena itu ketika terjadi bencana sungai Jamuna mereka sudah punya pilihan tempat evakuasi. Lihat John Twigg, Disaster Risk Reduction: Mitigation in the Development and Emergencies Programming, London: Humanitarian Practice Network ODI, 2004, hal 131-135.

Saturday, June 16, 2012

Political sociology: Meaning and transformation of political power

This "Political sociology," published by Gadjah mada University Press (2010) is a series of critical reviews on critical issues relating to the authority or power, the relation 'state' and 'civil society', democracy and the formation of classical and contemporary society, elite and class studies, and studies of stability and social instability. The study of critical issues on political power was conducted with reference to the many perspectives of thought, from Hobbes, Montesquieu, Durkheim, Max Weber, Karl Marx, Althusser, Horkheimer, Gramsci, Alexis de Tocqueville, Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, SM Lipset, H. Crough, F.W. Riggs, Schmitter, Nordhaus to C. Wright Mills, Liddle, Hefner, Fukuyama, and a number of other thinkers. In this context a dialogue also constructs elite, the Java community, and Islamic thinkers about the power of thought refers to Anderson, Ibn Khaldun, Abd Ali. Raziq, in addition to the thought of Mawdudi as well. This book assess the relation elite and community or civil society. It had placed in the context of the use of power. Elites tend to dominate the civil society. Kenneth Minogue (1994) Professor Emeritus in Political Science at the London School of Economics said that an elite party, or vanguard, takes over all the power and proceeds to tutor the population in how to think and to act. In the historical practice even tend to use violence. Therefore, this book invites the reader understanding the tendency of elites using violence, especially by the elite who have lost their moral sensibility as it appears in the study of C. Wright Mills. Transformation and political change towards modern politics assessed through the general election in this case is placed as a step towards the consolidation of power and democracy. It's studied also through cultural preconditions necessary to consolidate a democratic political system. Empirical experience is necessary, in this case taken from the experience of Indonesia, a nation that has a known population base of a powerful religious political legitimation.

Reconstruction of Modern Social Theory

It's my book. "Reconstruction of Modern Social Theory" published by Gadjah Mada University Press, 2012. This book is written departs from the fact that the world grows increasingly complex and dynamic.This reality confirms what was revealed by Durkheim that the world evolved from the simplest to the more complex life. But the world is not entirely filled with the harmonious order. The world is full of conflict. This fact was confirmed with the Marxian thinkers. Not really as Marxian thought, people do not want to constantly be in conflict. Communities also wants to build a consensus during their life, though often encountered is the pseudo or false consensus. Now the society are in post-industrial era. They are heterogeneous, caused by awareness of the uniqueness of the model to which every citizen of the world in responding to the reality. Weberian thinkers, focusing on the unique world of human consciousness and subjective, in the middle of the dynamic and complex world. This book invites readers to critically reconstruct the three streams of social science. The three streams of school are consensus, conflict, and the stream of the world concerned with human consciousness. The world is a product of human consciousness. Although the human consciousness is also a product of a world where people are.

Monday, November 9, 2009

BNPB: Badan Nasional Penanggulangan Bencana

BNPB: Badan Nasional Penanggulangan Bencana

BNPB: Badan Nasional Penanggulangan Bencana

BNPB: Badan Nasional Penanggulangan Bencana: "6. DAMPAK BENCANA GEMPA SUMATERA BARAT
(Siaran Pers/Siaran Pers)
Sampai pukul 16.00 WIB, Rabu (21 /10) korban meninggal dunia pascagempa Sumatera Barat berjumlah 1.117 orang, korban luka berat 1.214 orang dan luka ringan 1.688 orang, dinyatakan hilang 2 orang.
Wednesday, 21 October 2009"

Sunday, April 26, 2009

Mikail's Dream


Mikail Oasis Prabowo, graduation of SMA Trimurti Surabaya. He looks very happy and proud of wearing academic gown of CIC Curtin University of Technology. He just graduates from International Business programme of diploma at CIC. The graduation ceremony celebrated last April 22, 2009. Now he looks very busy as well, as he has so many asignment for his bachelor programme in the third smester of International Busines in Curtin University, Perth, Western Australia.

PIBT Graduation Ceremony


PIBT Edith Cowan University, Perth, Western Australia, took graduation ceremony, last April 17, 2009. The graduands came from difference countries across the world. One of the graduands is Renda Haniefa Rahmi (red box). She graduated from diploma of communication studies. She is very busy right now with her third smester in bachelor of communication studies in the same university.