https://search.google.com/search-console/removals?resource_id=https%3A%2F%2Fzetende.blogspot.com%2F

Friday, April 27, 2018

TELAH TERSINGKIR DENGAN SUKSES: Para Ideolog dan Pencerah dari Ranah Politik

Ideolog, aktivis, pencerah dan pendidik foto bersama dengan penguasa.
Tidak tampak di situ potret pengusaha atau pemodal besar.

Pernahkah anda bayangkan kalau politik kini sesungguhnya lebih merupakan arena permainan para pelaku ekonomi atau pemodal besar -langsung atau tidak langsung. Panggung utama politik sebenarnya bukan lagi menjadi arena para ideolog, aktivis pergerakan, dan para pencerah. 

Politik berubah menjadi arena permainan para pelaku ekonomi dan pemilik modal yang telah berhasil mengubah budaya politik menjadi politik transaksional. Sebagian pemodal itu tetap memilih berada di balik panggung. Kendati demikian, meski tidak tampak di permukaan, dengan modal finansialnya mereka memiliki political leverage yang kuat. Dengan modal besarnya itu dapat menguasai  dan mengontrol  jalannya roda politik. Namun belakangan tak sedikit mereka yang  berusaha turun gunung  untuk secara langsung  menjalankan  kekuasaan  dan roda politik.

Para aktivis dan ideolog terpinggirkan, pengaruhnya digantikan oleh pemodal besar dengan para klien mereka. Sebagai pelaku ekonomi, mereka bawa logika ekonomi tersebut ke ranah politik yaitu logika “menanam investasi sekecil-kecilnya untuk menangguk untung sebesar-besarnya”.

Tentang ideologi, khusunya relasi agama dan politik baca juga: http://zetende.blogspot.co.id/2018/05/sadar-agama-menyimpan-energi-politik.html

Tesis sosiolog dari Harvard University, Daniel Bell (1960) tentang the End of Ideology, matinya ideologi-ideologi besar pada abad 19 dan awal abad 20, mendapat bukti yang kian jelas. Saat ini, bukan hanya ditandai dengan absennya politisi yang mampu menjelaskan gagasan ideologis mereka. Arena politik diisi oleh para pemburu kekuasaan. Para penggerak dan aktivis yang kaya dengan gagasan-gagasan ideologis terpinggirkan secara menyedihkan dari percaturan politik. 

Panggung politik kemudian –boleh dikata sepenuhnya berada dalam genggaman orang-orang kaya. Politik menghasilkan kekuasaan berbasis uang, dan bukan lagi berbasis ideologi. Lahirlah regime politik uang, yang oleh Kevin Phillips disebut dengan Regime Plutocracy, yakni regime yang dikendalikan oleh orang-orang kaya.

Dalam regim plutocracy, roda pemerintahan dijalankan berdasarkan rule of the rich, berdasarkan kemauan dan kepentingan orang kaya, dan bukan didasarkan kepada kemauan dan kepentingan orang miskin, kaum buruh maupun orang-orang lemah.

Peristiwa dan proses-proses politik, terutama pemilu atau pilkada, dipandang oleh masyarakat sebagai peristiwa dan proses politik yang tak lepas dari persebaran uang. Politik transaksional berlangsung, mulai dari yang tertutup hingga yang kasat mata.

Dengan demikian “uang” adalah kekuatan utama dalam politik transaksional. Dalam budaya politik transaksional seperti itu tidak berlaku ideologi politik. Begitu juga politik aliran tidak berlaku. Termasuk aliran pemahaman keagamaan sekalipun. Demikian juga tidak berlaku istilah the power of knowledge –kekuatan ilmu pengetahuan. Ilmuwan yang memandang ilmu pengetahuan sebagai kekuatan tidak memperoleh ruang di ranah politik transaksional. 

Dalam pusaran politik yang berkembang seperti itu yang berlaku adalah the power of money –kekuatan uang. Mereka yang sanggup membayar mahar politik, yang bisa ambil kekuasaan. Sedikit saja mereka yang menggenggam kekuasaan politik yang diperoleh tanpa mahar. Politik menjadi arena para pembayar mahar dan para pemodal besar.


Selebihnya bisa anda baca dalam buku saya 
"Muhammadiyah dalam pusaran politik", 
diterbitkan oleh Hikmah Press, 2017




Tautan:
http://zetende.blogspot.co.id/2018/05/sadar-agama-menyimpan-energi-politik.html
http://zetende.blogspot.com/2018/04/telah-tersingkir-dengan-sukses-para.html
http://zetende.blogspot.co.id/2018/04/kenapa-amien-rais-berteriak.html
http://zetende.blogspot.co.id/2018/04/the-end-of-globalization-perang-dagang.html
http://zetende.blogspot.com/2018/05/radikalisme-atas-nama-agama-merasa.html


google.com, pub-8753603595595254, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Wednesday, April 25, 2018

Kenapa Amien Rais Berteriak

.....saya berestimasi, bahwa jika para pengambil kebijakan di negeri ini memiliki daya tanggap yang tinggi, yang mampu menerima pesan-pesan yang disampaikan dengan gaya “komunikasi senyap” maka saya yakin tidak ada alasan untuk menggelar gerakan 411 dan 212. Demikian juga jika gaya “komunikasi senyap”itu cukup efektif, maka orang sekaliber Amien Rais tidak punya alasan untuk berteriak lantang dengan ungkapan-ungkapan verbal yang pedas yang membikin bibir banyak orang kepedasan itu.


Selengkapnya lihat di:

https://inspirasi1926.wordpress.com/2018/04/17/kenapa-amien-rais-berteriak/?preview=true

https://inspirasi1926.wordpress.com

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10213924509280256&id=1035011906


Tautan:
http://zetende.blogspot.co.id/2018/05/sadar-agama-menyimpan-energi-politik.html
http://zetende.blogspot.com/2018/04/telah-tersingkir-dengan-sukses-para.html
http://zetende.blogspot.co.id/2018/04/kenapa-amien-rais-berteriak.html
http://zetende.blogspot.co.id/2018/04/the-end-of-globalization-perang-dagang.html
http://zetende.blogspot.com/2018/05/radikalisme-atas-nama-agama-merasa.html

JANGAN LUPA ALAM JUGA HIDUP: Bisa ramah, marah dan bahkan murka

     


Banyak yang mengira, alam itu mati, yang tidak mampu merespon perlakuan manusia. Selama ini para pemodal yang biasanya berkolaborasi dengan pemegang monopoli kekuasaan, asyik mengeksploitasi alam. Mereka menimba keuntungan sebesar-besarnya, dan tanpa disadari telah menyisakan masalah bagi orang yang lemah.



Sejumlah alat yang digunakan untuk membakar lahan dan hutan di Kabupaten Siak



Mereka menyangka penggalian sumber daya alam bisa semena-mena. Alam dianggap tidak mereaksi ter­ha­dap apa yang manusia perbuat. Alam bukan ’barang mati.’ Alam ternyata ’hidup.’ Memberi reaksi terhadap ulah ma­nusia. Alam bisa bersahabat, tetapi alam juga bisa marah.

Di Indonesia telah memberi bukti dalam bentuk banjir dan tanah longsor, gelombang tsunami di Aceh, gempa bumi di Yogya­karta, me­nyu­sul di sepanjang pantai Pandanaran dan sekitarnya. Di Porong Sidoarjo lumpur menyembul tak kurang dari 65 ribu meter kubik per hari – sampai catatan ini ditulis tanpa satupun anak negeri sanggup menghentikannya.

Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada awal tahun 2018 telah terjadi 438 kejadian bencana. Tanah longsor menjadi bencana yang paling mematikan. "Hingga bulan Februari telah terjadi 438 kejadian bencana," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho di kantornya, Jl Pramuka, Jakarta Timur, Jumat (23/2/2018).

Alat-alat seperti inilah antara lain yang digunakan untuk membakar hutan
Jika kita cermati umumnya bencana adalah akibat ulah manusia. Sebut misalnya pembalakan liar (illegal logging) dan pembukaan lahan, termasuk industri ekstraktif yang tak terkendali terjadi di sejumlah negara. Di Indonesia, telah mengakibatkan tanah longsor, kemarau, dan banjir. Kasus pembakaran hutan yang terjadi di Indonesia bahkan sempat memojokkan Indonesia di mata dunia internasional sebagai penjahat lingkungan.

Kondisi DAS di Indonesia banyak yang semakin kritis. Debit air di sungai-sungai itu terdegradasi. Tidak kurang dari 52 sungai yang tersebar di Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke konon memiliki debet yang berpotensi menimbulkan bencana kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Pendek kata alam yang ramah itu kemudian menjadi marah dan bahkan murka, yang bukan hanya mengancam dunia bisnis dan industri namun lebih dari itu mengancam keselamatan manusia.

Krisis lingkungan yang dihadapi Indonesia salah satu penyebabnya adalah praktik tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut yang tidak responsif dalam pelestarian lingkungan dan pengurangan resiko bencana. Pengusahaan hutan dengan model tebang habis (land clearing) menjadi pangkal penyebab berkurangnya luas hutan dan berbuntut terjadinya krisis lingkungan dan tak ayal kemudian melahirkan bencana seperti kekeringan dan kebakaran hutan.

Indonesia tengah menghadapi krisis keberadaan hutan alam dan terancam oleh munculnya bencana ekologis akibat terdegradasinya hutan hujan tersebut. Dalam bulan April 2018 ini saja Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru setidaknya mendeteksi 20 titik panas (hotspot) yang tersebar di wilayah Provinsi Riau.

Thursday, April 5, 2018

zainuddin maliki: THE END OF GLOBALIZATION: Perang Dagang dan Berakhirnya Mitos Globalisasi

zainuddin maliki: THE END OF GLOBALIZATION: Perang Dagang dan Berakhirnya Mitos Globalisasi

Globalisasi akan segera berubah menjadi mitos? Diskursus akan segera diwarnai dengan kembalinya istilah "nasionalisme?" Tanda-tanda hal itu segera terjadi ketika negara-negara besar seperti Amerika, negara-negara Eropa maupun Asia, sedang berusaha mencabut "hukum besi pasar bebasnya" dengan memproteksi diri dari serbuan masuknya komoditi perdagangan dari luar. Dalam situasi seperti ini, diskursus nasionalisme, kembali memiliki makna dan signifikansi yang cukup menarik.

Wednesday, April 4, 2018

THE END OF GLOBALIZATION: Perang Dagang dan Berakhirnya Mitos Globalisasi



Globalisasi tampaknya akan segera berubah menjadi mitos, dan diskursus akan segera diwarnai dengan kembalinya istilah "nasionalisme." Hal ini terjadi ketika negara-negara besar seperti Amerika, negara-negara Eropa maupun Asia, sedang berusaha mencabut "hukum besi pasar bebasnya" dengan memproteksi diri dari serbuan masuknya komoditi perdagangan dari luar. Dalam situasi seperti ini, diskursus nasionalisme, kembali memiliki makna dan signifikansi yang cukup menarik.

Diskursus nasionalisme selama ini banyak dipengaruhi pemikiran Bennedict Anderson yang memunculkan kata kunci, imagined community -masyarakat terbayang (Lihat: Imagined communities: reflections on the origin and spread of nationalism, 1991). Masyarakat yang tidak bertatap muka langsung, hanya ada dalam imajinasi, namun meyakini sebagai bagian dari sebuah kelompok, sehingga mampu membangkitkan ikatan bersama yang kuat. Ikatan bersama itu dibentuk oleh berbagai macam soal. Tentu saja terutama adalah dibentuk oleh kesamaan cita-cita dan kehendak untuk hidup bersama.

Salah satu cita-cita dan kehendak bersama yang muncul saat ini adalah bagaimana mempertahankan ketahanan ekonomi bangsa, di berbagai sektor, baik industri, pertanian, perikanan dan sektor-sektor lainnya, di tengah perang dagang antar negara yang tampaknya belakangan kian merebak. 

Belakangan ekonomi nasional Indonesia juga digerus oleh masuknya barang-barang impor, terutama dari China. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Sasmito Hadi Wibowo menjelaskan, Tiongkok selalu menduduki peringkat pertama negara pengimpor terbesar ke Indonesia, disusul Jepang dan Thailand. Pada periode Januari-Maret 2016, impor dari China mencapai US$ 7,13 miliar dengan pangsa pasar 25,40 persen. Dengan angka seperti itu, Indonesia mengelami defisit neraca perdagangan sejak 5 tahun lalu  (http://www.liputan6.com/bisnis/read/2484206/ini-barang-impor-dari-tiongkok-yang-bikin-perdagangan-ri-tekor).

Di tengah serbuan komoditi dari luar, dalam jumlah yang luar biasa, yang sudah sempat membikin defisit neraca perdagangan kita, ternyata belum cukup untuk menumbuhkan semangat nasionalisme -dalam arti di bidang ekonomi berusaha berpijak pada komoditi produksi dalam negeri sendiri. Impor tetap jalan dan barang-barang murah dari China mengalir terus ke Indonesia. Demikian juga nafsu impor tetap saja muncul seperti keinginan untuk impor beras, kedelai, garam dan berbagai komoditi yang sebenarnya bisa diproduksi sendiri di dalam negeri.

Bandingkan dengan reaksi yang diberikan negara kampiun demokrasi dan penganut ideologi pasar bebas, Amerika Serikat. Ternyata, AS juga diserbu barang-barang impor, terutama dari China. Serbuan barang impor yang masuk ke Amerika Serikat, yang antara lain telah menjadikan surplus perdagangan China dengan Amerika belakangan meningkat tajam. Namun fenomena itu kemudian justru membangkitkan tumbuhnya nasionalisme, setidaknya di kalangan elite AS.

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump seperti janjinya dalam kampanye, setelah terpilih kemudian berusaha memangkas surplus perdagangan China terhadap AS yang luar biasa besar itu, dengan harapan membalik surplus atau setidak-tidaknya membikin neraca perdagangannya dengan China berimbang. Janji Trump itu kemudian diwujudkan antara lain dengan menaikkan bea masuk impor baja dan untuk aluminium AS, yang kebijakannya itu tidak hanya berdampak pada China, tetapi juga negara-negara Eropa. 

Seperti juga negara-negara di Eropa, China tidak tinggal diam. Mulai awal April 2018 ini, secara resmi China  mengenakan bea masuk baru terhadap 128 barang impor dari Amerika Serikat (AS), sembari mengingatkan AS agar tidak membuka perang dagang. Oleh karena itu, munculnya ancaman perang dagang tampaknya sulit untuk dihindarkan.

Proteksi perdagangan yang diterapkan AS, tentu mendorong China untuk mengejar market baru. Dan tentu hal ini akan berdampak ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Faktanya, belakangan semakin banyak barang China yang masuk Indonesia. 

Mengutip catatan BPS, berikut rincian barang yang masuk ke Indonesia: 1). Mesin-mesin/pesawaat mekanik senilai US$ 1,76 miliar; 2). Mesin/peralatan listrik ‎US$ 1,42 miliar; 3). Besi dan baja US$ 470,75 ‎juta; 4). Bahan kimia organi US$‎ 276,69 juta; 5). Plastik dan barang dari plastik US$ 257,13 juta; 6). Benda-benda dari besi dan baja US$ ‎202,98 juta; 7). Filamen buatan US$ 168,88 juta; 8). Pupuk US$ 146,09 juta; 9). Bahan kimia anorganik US$ 140,43 juta; 10). Kendaraan dan bagiannya US$ 134,53 juta; 11). Lainnya senilai US$ 2,15 miliar. 

Jika dilihat dari golongan penggunaan barang, impor China ke Indonesia, antara lain:
(1) Golongan barang-barang konsumsi; 1. Makanan dan minuman (primary) untuk rumah tangga; 2. Makanan dan minuman (proses) untuk rumah tangga; 3. Bahan bakar dan pelumas (proses); 4. Mobil penumpang; 5. Alat angkutan bukan untuk industri; 6. Barang konsumsi tahan lama; 7. Barang konsumsi setengah tahan lama; 8. Barang konsumsi tak tahan lama; 9. Barang yang tak diklasifiksikan

(2) Bahan baku dan penolong: 1. Makanan dan minuman (primary) untuk industri; 2. Makanan dan minuman (proses) untuk industri; 3. Bahan baku untuk industri (primary);
4. Bahan baku untuk industri (proses); 5. Bahan bakar dan pelumas (primary); 6. Bahan bakar motor; 7. Bahan bakar dan pelumas (proses); 8. Suku cadang dan perlengkapan barang modal; 9. Suku cadang dan perlengkapan alat angkutan

(3) Barang-barang modal: 1. Barang modal kecuali alat angkutaan; 2. Mobil penumpang; 3. Alat angkutan untuk industri.
(http://www.liputan6.com/bisnis/read/2484206/ini-barang-impor-dari-tiongkok-yang-bikin-perdagangan-ri-tekor).

Kesimpulan dan saran:
  1. Saat ini tengah muncul gejala nasionalisme ekonomi atau perdagangan, dan mulai berakhir mitos globalisasi. 
  2. Dunia tengah dibayangi ancaman perang dagang. Semua negara memunculkan semangat nasionalismenya dengan berusaha memproteksi perdagangan dan ekonomi negara masing-masing.
  3. Nasionalisme tidak hanya diwujudkan pada jargon dan slogan cinta tanah air. Tetapi di banyak negara, seperti AS, negara-negara Eropa maupun China diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang memperkuat ketahanan nasional mereka masing-masing, baik ketahanan pangan, industri, perdagangan untuk sektor ekonomi, di samping tentu saja juga dituangkan dalam sikap-sikap dan kebijakan politik dalam dan luar negeri. 
  4. Disarankan agar negara harus membangkitkan nasionalisme dengan memperkuat basis ekonomi nasional di berbagai sektor, sehingga tidak hanya menjadikan Indonesia  mampu menjaga keseimbangan neraca perdagangan dengan negara-negara lain, tetapi bisa menjadikan Indonesia benar-benar berdaulat.


Tautan:
http://zetende.blogspot.co.id/2018/05/sadar-agama-menyimpan-energi-politik.html
http://zetende.blogspot.com/2018/04/telah-tersingkir-dengan-sukses-para.html
http://zetende.blogspot.co.id/2018/04/kenapa-amien-rais-berteriak.html
http://zetende.blogspot.co.id/2018/04/the-end-of-globalization-perang-dagang.html
http://zetende.blogspot.com/2018/05/radikalisme-atas-nama-agama-merasa.html