https://search.google.com/search-console/removals?resource_id=https%3A%2F%2Fzetende.blogspot.com%2F

Monday, February 5, 2018

Indonesia Macan di Masyarakat Ekonomi ASEAN?


Modal Indonesia: Alam, nan hijau di balik kabut Gunung Merapi

Sejak 2015 Indonesia sudah  tergabung dalam Masyarakat Ekomomi ASEAN (MEA). Harusnya Indonesia dengan sumberdaya yang dimiliki sudah bisa jadi "Macan Asia."

Penggabungan ini sebenarnya memberi peluang (opportunities) bagi Indonesia, meskipun  disadari bahwa di dalamnya mengandung tantangan (threat).

Tergabungnya kedalam MEA sebagai peluang karena muncul  (1) kemudahan skema dan prosedur bea cukai, (2) pengekspor memiliki hak menentukan sendiri originalitas atau keaslian produk (self sertification).

Namun, di sisi lain terdapat tantangan tersendiri, antara lain keharusan untuk memenuhi standar dan harmonisasi mutu semua komoditi, meski harmonisasi standar itu dilakukan secara bertahap. Awalnya dimulai dengan standarisasi komoditi produk karet, obat tradisional, pariwisata, kosmetik, buah segar, udang dan budidaya perikanan, sayur dan ternak.

Nah, dalam urusan standarisasi dan harmonisasi mutu inilah yang mencemaskan. Orientasi mutu kita umumnya lemah. Hampir semua hal dikerjakan asal jadi. Banyak infrastruktur, apalagi pelayanan publik kita, mutunya dibawah standar. Hatta, mahasiswapun tak sedikit yang mengerjakan tugas juga asal jadi.

Disamping itu budaya kerja kita masih perlu dibenahi. Bertarung dengan masyarakat ekonomi ASEAN harus produktif. Untuk memacu produktifitas membutuhkan kerja keras, konsistensi dan disiplin. Butuh kemampuan mengelola waktu dengan baik. Cukup 8 jam sehari untuk bekerja keras. Sisanya 8 jam istirahat dan 8 jam buat tidur.

Salah Pilih Paradigma, penyebab Pembelajaran tidak Efektif






Keterangan Gambar: Bersama Dosen IKIP PGRI Madiun dalam acara Pelatihan AA kerjasama dengan Kopertis VII.


Banyak pendidik yang mengajar peserta didiknya dengan berbagai upaya tetapi tidak terjadi proses pembelajaran. Itulah yang disebut dengan mengajar seolah-olah atau seolah-olah mengajar. Karena pendidiknya mengajar seolah-olah maka peserta didiknya belajar seolah-olah. Karena belajarnya seolah-olah maka diakhir pendidikannya ia lulus, tetapi menjadi lulusan seolah-olah. Menjadi sarjana pun, sarjana seolah-olah.


Jika dikatakan mengajarnya seolah-olah, bukan berarti para pendidik itu tidak bersungguh-sungguh. Mereka bersungguh-sungguh. Bahkan begitu sungguh-sungguh nya para pendidik berusaha mengajar peserta didiknya, mereka menyusun rencana pembelajaran sedemikian rupa hingga habis waktu  untuk merancang pembelajaran nya, mereka siapkan media-media pembelajaran yang diperlukan, sehingga mereka tidak sempat mencari waktu luang, bahkan untuk beristirahat, tetapi upaya yang dilakukannya itu masih juga belum membuahkan hasil yang diinginkan. Mereka belum juga berhasil menciptakan etos belajar siswanya dengan baik. Mengapa itu terjadi? Salah satu sebabnya karena mereka tidak berangkat dari paradigma pembelajaran yang tepat. 



Tetapi apakah paradigma itu dan mengapa paradigma menjadi penting yang begitu menentukan keberhasilan sebuah proses pembelajaran? Paradigma, menurut Thomas Kuhn, adalah model atau pola berfikir. Sementara George Ritzer, mengartikan sebagai cara orang bertanya atau cara melihat masalah dan bagaimana memberikan jawabannya. Oleh karena itu beda paradigma, beda cara melihat masalah, menemukakan pertanyaan dan menjawabnya.



Dalam interaksi sosial, jangan bertanya tentang anaknya berapa kepada orang Barat, karena mereka berparadigma nuclear family. Beda dengan orang Indonesia yang berpola pikir extended family. Mempertanyakan soal anak bukan tabu, melainkan justru dianggap familiar. Jika bertemu teman lama, tidak ada masalah jika setelah bertanya apa kabar, lalu menanyakan "sudah punya anak berapa?"



Dalam hal pembelajaran, ada dua paradigma besar. Pertama, subyektivis dan kedua, obyektivis.
Penganut subyektivis, memandang pembelajar adalah individu yang memiliki kesadaran subyektif. Individu mempunyai cara sendiri dalam memberi makna dan mengkonstruksi dunianya. Dengan asumsi dasar seperti itu maka pembelajaran harus didesain kedalam proses pengembangan diri berangkat dari dorongan subyektif. Tugas guru memfasilitasi dan mendesain pembelajaran siswa aktif mengembangkan diri dengan dorongan intrinsiknya, sehingga tindakan pembelajar merupakan hasil dari dorongan dan kesadaran intrinsik pembelajar itu sendiri. Para penganut mazhab cognitive, social cognitive, humanism dan constructivism memandang pembelajaran dari pendekatan subyektivism ini. 




Sementara itu, paradigma objectivism memandang pembelajaran sebagai proses pengembangan kepribadian berangkat dari dorongan extrinsic. Pembelajaran terjadi jika ada intervensi, stimulus atau dorongan dari luar. Tugas guru adalah mengintervensikan perlakuan tertentu sebagai stimulus siswa melakukan pembelajaran. Penganut mazhab behavioris mendesain pembelajaran menggunakan paradigma objectivism ini.





Paradigma behavioristik inilah yang paling banyak diterapkan oleh para pendidik kita sehingga kemudian yang tumbuh adalah budaya belajar menunggu stimulus, menunggu intervensi dari luar. Kalau stimulus dan intervensi dari luar tidak ada, tidak ada perintah dari guru, apalagi tanpa pengawasan maka siswa tidak belajar. Tidak diminta oleh guru, maka siswa tidak membaca. Tidak ada perintah dari guru maka siswa tidak melakukan apa-apa, sehingga kemudian menjadi manusia-manusia behavioris yaitu manusia yang bertindak tergantung pada stimulus. Dalam paradigma behavioris seperti ini guru menjadi segala-galanya. Guru menjadi pemain utama dan menjadi faktor Sentral dalam seluruh proses pembelajaran. Sementara itu siswa ditempatkan sebagai objek dari berbagai stimulus dan strategi pembelajarannya.



Kita perlukan anak-anak didik yang bisa berperan sebagai subyek, yang berbuat dan bertindak serta punya semangat belajar, semangat membaca, semangat mengembangkan diri, tanpa menunggu stimulus. Mereka berusaha berbuat dan melakukan sesuatu yang bisa mengembangkan potensi kognitif, afektif beserta psychomotor nya atas dasar dorongan intrinsik. Akhirnya, peserta didik kita biasa berinisiatif, belajar mengarahkan dan mendorong diri sendiri (self directing), berusaha berbuat, berimajinasi dan berkreasi.


Karena berhasil menumbuhkan semangat anak-anak didik kita yang  bisa tampil sebagai subjek itulah maka kita bisa mengatakan bahwa strategi pembelajaran  yang kita terapkan  itu efektif.  Pembelajaran yang efektif itu bisa kita capai kalau kita menggunakan pendekatan konstruktivistik atau pembelajaran yang berangkat dari dorongan subjektif siswa. Siswa yang jadi pusat pembelajaran. Siswa yang membangun motivasi belajarnya  karena dorongan dari dalam diri siswa sendiri. Tugas guru adalah menjadi fasilitator sedemikian rupa sehingga siswa didik kita mendapatkan iklim yang kondusif untuk mengembangkan etos belajarnya dengan baik.



Jadi kesimpulannya:



  1. Begitu penting para guru dan juga dosen, untuk meninjau kembali paradigma yang digunakan. 
  2. Paradigma yang tepat adalah paradigma yang bisa  menjadikan manusia potensial yang memiliki kekuatan subyektif untuk tampil sebagai subyek yang selalu berinisiatif, mengembangkan diri dan berkreasi. 
  3. Berbagai faktor eksternal, seperti lingkungan fisik maupun sosial, dijadikannyan untuk memperkuat upayanya mengembangkan potensi kognitif, psikomotorik maupun afektifnya.