https://search.google.com/search-console/removals?resource_id=https%3A%2F%2Fzetende.blogspot.com%2F

Sunday, September 29, 2019

Prof. Dr. Zainuddin Maliki, MSi: WASPADAI TURBULENSI POLITIK DAN PREDATORY DEMOCRACY

          Politik di negara kita, akhir-akhir ini tampaknya sedang mengarah ke arah turbulensi. Saluran politik konvensional dinilai buntu sehingga mendorong munculnya gerakan protes melalui jalur nonkonvensional. Ribuan mahasiswa turun ke jalan. Berawal dari isu kebakaran hutan lalu berkembang kepada penolakan penetapan RUU KPK, RUU KUHP, RUU Pertanahan dan RUU Ketanagakerjaan yang dikebut untuk disahkan oleh DPR periode 2014-2019.
        Tampaknya belakangan muncul berbagai kekuatan reformis, reaksioner maupun kekuatan yang berangkat dari semangat kelompok, etnis, dan juga kepentingan tertentu. Bangsa yang berakar pada keanekaragaman, sejauh ini telah berupaya untuk bersatu di tengah perbedaan dan keanekaragaman. Banyak yang tanpa mengenal lelah meneriakkan semboyan NKRI harga mati, dan bhineka tunggal ika. Namun masih saja muncul prasangka,  sikap saling curiga, beberapa di antaranya saling berusaha memusnahkan seperti terlihat dalam kericuhan saat berlangsung demonstrasi di Jakarta maupun sejumlah kota lainnya. Masing-masing siap dengan segala macam alat-alat pemusnah mulai dari senjata tajam, pentungan, batu, peluru karet. [1]
    Situasi seolah mengubah karak­teristik bangsa Indonesia, yang sebelumnya selalu mengklaim diri sebagai bangsa terhormat, ramah dan santun, tiba-tiba kemudian lebih menggambar­kan apa yang disebut Thomas Hobbes, man's natural state is the war of "every one against every one."[2]
     Tentu kita tidak ingin terjadi apa yang digambarkan Muis. Meminjam istilah Barrington Moore JR (1973) digambarkan Indonesia menghadapi benturan antara kekuatan reak­sioner, revolusioner dan reformis dengan semangat saling menghancurkan. Kalau ini yang terjadi bisa memunculkan demokrasi predator (predatory democracy). Menurut Moore, sebagaimana di­ku­tip Muis, predatory democracy ditandai dengan ciri-ciri bloody chaos and collapse of natio­nal authority to the point where human life mainly a war of all against all with tiny islands of law and order under the control of strong men waging vendettas against each other.[3]
       Bangsa Indonesia sejak reformasi terus menerus menjum­pai begitu banyak gangguan tertib sosial, berupa konflik dan bahkan perang saudara —perang antar agama Islam-Kristen di Ambon (2011), antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah (2001), pertum­pahan darah di tanah Aceh, berbagai macam kerusuhan, pembakaran, pengeboman, teror dan praktek kriminalitas di berbagai tempat.
      Keadaan semakin memburuk ketika tidak ada kekuatan efektif yang dapat menghentikan segala macam bentuk anarkisme tersebut. Elite politik, terkesan tidak melakukan langkah-langkah efektif dalam memecahkan masalah. Intrik, kebohongan, kecurangan dan kekerasan justru merebak.
      Bangsa Indonesia lalu benar-benar dihadapkan kepada krisis sosial dan turbulensi politik, di­tandai dengan an­caman disintegrasi, kriminalitas, teror, tindak kekerasan —baik individual mau­­pun kelompok— yang dipicu sentimen kepentingan ekonomi, politik, etnis dan bahkan juga sentimen keagamaan. 
          Francis Fukuyama menyatakan bahwa dalam rangka membangun kehi­dup­an bersama, tidak saja membutuhkan modal fisik seperti tanah bangunan, me­sin, mau­pun modal sumberdaya manusia seperti skill dan pengetahuan, melainkan juga mem­butuh­kan apa yang disebutnya dengan modal sosial.
           Fukuyama me­nyatakan: Social capital can be de­fined simply as a set of informal values or norms shared among members of group that per­mits cooperation among them. If a membesr of the group come to expect that others will behave reliably and honestly, then they will come to "trust" one another. Trust is like a lubricant that makes the running of any group or organization more efficient.[4] 
             Jadi untuk bisa keluar dari turbulensi politik dan menghentikan praktik predatory democracy bangsa ini memerlukan modal sosial, terutama trust atau kepercayaan untuk dijadikan landasan terbentuknya sebuah nation state yang di dalamnya se­tiap warga dapat ber­sikap jujur, dapat dipercaya satu dihadapan yang lain. Oleh karena itu modal sosial, trust, sesuatu yang amat kita butuh­kan harus dicegah dari kemerosotan. Masyarakat kita terutama yang berada pada lapisan elite politik dan governing elite harus memperkaya jiwa, jauhi miskin hati, dan rakus kekuasaan. Sebaliknya bangun  setinggi-tinggi rasa empati kepada rakyat dan seluruh warga negara, untuk Indonesia jaya dan berkemajuan.

-------------------

[1] Munculnya institusi para-militer yang ada selama ini juga tak bisa dilepaskan dari masih tingginya prasangka di balik keanekaragaman sosial politik kita. Seperti juga di sejumlah negara berkembang, di negeri ini juga muncul para-militer atau semacam milisi yang dibentuk sejumlah organisasi massa dan partai politik. Menyusul organisasi para militer seperti Banser, Kokam, Garda Bangsa ada juga Satgas Cakra Buana PDI-P, Gerakan Pemuda Ka'bah dari milisi partai, Lasykar Jihad, Front Pembela Islam (FPI), Front Hisbullah dari milisi Islam. Kelompok Kristen misalnya juga memunculkan Lasykar Yesus Kelelawar Hitam menghadapi insiden di Poso, dan sejumlah lasykar Kristen di daerah-daerah kon­flik Islam-Kristen di Ambon dan Maluku Utara 1999. Rakyat Irian Jaya membentuk milisi, meski tak dipersenjatai, seperti Satgas Papua Merdeka yang mengorganisir diri mirip organisasi militer. Menarik pada era ini juga muncul para-militer atau milisi yang pem­bentukannya tidak atas dasar alasan politik, melainkan ekonomi. Di Mataram mis­al­nya, tahun 1999 muncul Milisi Bujak dan Amphibi. Bujak me­leng­kapi puluhan ribu anggotanya dengan senjata dan handy talkie untuk memburu para penjarah dan maling-maling ternak. Lihat Henk Schulte Nordholt dkk, edt., Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor, 2007.
[2] Lihat Thomas Hobbes kutip Francis Fukuyama, The Great Disruption: Human Nature and the Reconstruction of Social order, New York: The Free Press, 1999 hal.6.
[3] Lihat A. Muis, "Predatory Democracy," Kompas, Selasa, 30 Januari 2001.
[4] Francis Fukuyama, opcit, hal 16. 

google.com, pub-8753603595595254, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Sunday, September 22, 2019

KENAPA HARUS LINDUNGI DIRI SENDIRI DARI BENCANA
KARENA REZIM YG HARUS BEREAKSI CEPAT TAPI SUKA TERLAMBAT

Perlindungan masyarakat dari ancaman bencana haruslah dilakukan oleh semua pihak, pemerintah, pengusaha maupun masyarakat. Tentu saja yang paling mendesak adalah menumbuhkan kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk melindungi diri sendiri dari ancaman dan resiko bencana. Setidak-tidaknya ada 5 hal yang menyebabkan pentingnya melakukan penguatan masyarakat dalam melindungi diri sendiri dari bencana.
Pertama, masyarakat itu sendiri yang menjadi korban dari bencana. Maka yang bergerak pertama kali merespon bencana adalah masyarakat dan bukan pihak lain. Team reaksi cepat yang disiapkan pemerintah acapkali datang terlambat. Padahal masyarakat sudah harus merespon bencana sejak menit-menit pertama. Kita membutuhkan masyarakat memiliki kemampuan melakukan pengurangan resiko bencana sebelum bantuan orang lain tiba. Masyarakatlah yang terkena bencana, dan paling awal harus berbuat. Oleh karena itu masyarakat harus memiliki kemampuan penguasaan sumber daya, cara dan kekuatan untuk mengurangi tingkat risiko bencana. Masyarakat harus memiliki cara mempertahankan dan mempersiapkan diri, mencegah, menanggulangi, meredam, serta dengan cepat memulihkan diri dari akibat bencana.
Kedua, tidak banyak yang bisa diharapkan dari pemihakan kebijakan pembangunan, karena kebijakan pembangunan –khususnya industri ekstraktif, sebagaimana digambarkan di muka acapkali tidak berpihak kepada perlindungan kepentingan dan keselamatan masyarakat banyak. Kenyataan ini membenarkan pemikiran para penganut Marxian, bahwa pada akhirnya, yang bisa membela dan melindungi rakyat kecil, adalah rakyat kecil itu sendiri. Dalam konflik kepentingan antar klas, maka klas pekerja dan wong cilik harus melindungi diri sendiri. Sulit mengharap kepekaan kalangan elite, wong gedhe, pemilik modal atau kaum borjuis untuk memperhatikan kepentingan dan keselamatan rakyat kecil, klas pekerja atau kaum proletar. Dalam konteks inilah maka menjadi penting dilakukan penguatan masyarakat kecil agar mereka memiliki kemampuan dan daya tahan menghadapi krisis lingkungan dan bencana.[1]
Ketiga, membangun ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana, yang paling efektif apabila berbasis masyarakat (bottom up approach). Intervensi dari pemerintah dan pihak lain (top down approach) –sebelum, pada saat tanggap darurat maupun paska bencana, acapkali a-historis sehingga bisa menjadi tidak berjalan karena tidak memperhatikan harapan dan konstruk masyarakat tentang bencana. Banyak pengalaman menunjukkan masyarakat kehilangan kemandiriannya ketika terlalu banyak program intervensi –apalagi intervensi itu diwujudkan dalam bentuk program yang bersifat karitatif. Masyarakat tidak bisa menjadi subyek bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu, kita perlu mendengar saran kalangan pemikir teori kritis (critical theory) yang menyatakan bahwa meningkatkan kualitas hidup manusia –termasuk di dalamnya cara merespon bencana, haruslah dengan cara mengembangkan dan meningkatkan kesadaran diri (self-consciousness) dan memahami perkembangan sosial politik yang ada, yang pada muaranya “manusia harus dapat menjadi subyek dan secara aktif menentukan cara hidupnya sendiri.”[2]
Keempat, paradigma penanggulangan bencana bergeser dari tanggap darurat kepada pendekatan mitigasi dan preparadness.[3] Dalam upaya melakukan mitigasi dampak bencana itulah, sangat diperlukan pemahaman terhadap prinsip-prinsip dinamika yang berubah begitu cepat dalam fenomena alam. Dalam konteks mitigasi, maka perubahan iklim yang menjadi sebab munculnya bencana tersebut seharusnya menjadi pusat perhatian.
Kelima, masyarakat selalu memiliki pengetahuannya sendiri (indigenous knowledge) dan strategi atau cara mereka sendiri (coping strategis) dalam merespon bencana. Pengetahuan mereka tak jarang jauh lebih bagus dibanding yang dimiliki ekspert di bidang bencana sekalipun. Dengan pengetahuan dan strategi mereka sendiri itulah yang menyebabkan mereka survive. Begitu banyak masyarakat akhirnya bisa bertahan dengan survival strategy –nya sendiri. Itulah sebabnya Brian Ward, mantan Direktur Asian Disaster Preparadnes Center, sangat apresiatif terhadap keunggulan petani di Bangladesh, bukan hanya dalam memahami betapa rentan mereka menghadapi bencana, tetapi juga dalam mengatur strategi merespon bencana. Brian bahkan berani mengatakan petani di Bangladesh memiliki pengetahuan lima belas tahun lebih maju dibanding seorang Ph.D.[4]
----------
[1] Baca pemikiran pemihakan terhadap mereka yang lemah dari kalangan pemikir Marxian dalam Zainuddin Maliki, Rekonstruksi Teori Sosial Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012. Mengenai pandangan pemikir Marxian tentang kerusakan lingkungan dan pengasingan masyarakat lokal dan para petani dari tanah ulayatnya sendiri akibat eksploitasi ekonomi kaum kapitalis dapat dibaca dalam John Hannigan, Environmental Sociology, London and New York: Routledge, 1995, hal. 8.
[2] Ibid, hal. 223
[3] Termotivasi dari kehancuran 26 Desember 2004 akibat gempa dan Tsunami Samudra Hindia, paradigma bencana bergeser dari pengelolaan tanggap bencana (Disaster Response) menjadi pengurangan resiko bencana (Disaster Risk Reduction), lihat DIBI BNPB-UNDP, 2010.
[4] Survival strategy warga pinggiran Sungai Jamuna Bangladesh cukup unik. Mereka sudah mencari shelter sebelum bencana datang. Yang mereka lakukan penduduk tepi sungai Jamuna itu adalah mengawinkan anaknya dengan keluarga yang berada di daerah aman. Oleh karena itu ketika terjadi bencana sungai Jamuna mereka sudah punya pilihan tempat evakuasi. Lihat John Twigg, Disaster Risk Reduction: Mitigation in the Development and Emergencies Programming, London: Humanitarian Practice Network ODI, 2004, hal 131-135.