https://search.google.com/search-console/removals?resource_id=https%3A%2F%2Fzetende.blogspot.com%2F

Sunday, October 14, 2012


INTRIK, KEBOHONGAN DAN KEKERASAN UNTUK BERBURU KEKUASAAN DI NEGERI INI



Zainuddin Maliki, Agama Priyayi: Makna agama di tangan elite penguasa, Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004

         Intrik dan kekerasan masih saja menandai perburuan kekuasaan di negeri ini. Kekuasaan selalu menjadi ‘arena’ perburuan dan perebutan yang semakin ketat. Belakangan di era demokrasi bahkan juga memakai kebohongan menyertai kecurangan. Kecurangan dianggap bagian dari demokrasi itu sendiri.
         Seperti yang diyakini para penganut Darwinisme Sosial, kekuasaan masuk wilayah struggle for life. Manusia secara mendasar menempatkan diri sebagai spesies yang harus memangsa spesies yang lain dan begitu pula sebaliknya demi meraih dan melanggengkan kekuasaan.
         Kekuasaan di buru melalui dialektika –tesis, antitesis dan sintesis. Kekuasaan di mata para penganut kritis dimanfaatkan untuk melanggengkan privelese yang dimiliki oleh para elite guna mengekalkan dominasinya terhadap rakyat atau kelas yang tidak memiliki harta milik maupun alat-alat produksi.
             Namun sebenarnya intrik dan kekerasan itu sudah terjadi sedari dulu. Di zaman raja-raja Jawa, perburuan kekuasaan banyak melibatkan intrik dan bahkan menggunakan cara kekerasan yang melibatkan mereka yang di dalam maupun di luar Keraton.

         Kekuasaan di mata mereka bagaikan ‘sawah’ –sebuah unexpandable good, sebuah komoditi yang tidak bisa diperluas. Upaya untuk memperluas, tidak ada cara lain selain dengan cara mempersempit ‘sawah’ orang lain.

         Di sinilah perburuan kekuasaan sering menimbulkan ketegangan. Bahkan korban. Mangkurat I dikenal sebagai penguasa Jawa yang pernah menghimpun ratusan dan bahkan ada yang mengatakan ribuan ulama di alon-alon keraton. Mereka dianggap ancaman, lalu dibunuh.
          & Perburuan kekuasaan tampaknya memang selalu berhimpitan dengan kekerasan. Namun, Sultan Agung (1613-1646) memiliki cara yang lebih menarik dan kompleks. Tidak hanya menggunakan cara penundukan (vassal) melalui kekerasan dan pengerahan militer.

         Sultan Agung juga menggunakan cara-cara yang cerdik, seperti cara politis, mitis dan juga magis-religius. Dengan cara itu, rakyat menaruh hormat. Semua orang lalu bersedia ndherek kersa dalem –ikut terserah kepada kehendak raja. Cara itulah yang disebut Antonio Gramsci, pemikir kritis asal Itali, dengan istilah hegemoni.
          Sultan Agung dengan jeli melihat energi di balik agama. Di sana ada kekuatan yang dapat memperkokoh kekuasaan. Kekuasaan yang ia bangun di atas doktrin ‘keagungbinataraan’. Kekuasaan yang luas gung binatara, bau dendha anyakrawati –sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hokum dan penguasa dunia. Sang rajalah pemegang kekuasaan tertinggi di seluruh negeri –wenang wisesa ing sanagari.

         Untuk mengokohkan kekuasaannya, Sultan Agung mengundang ulama dari Mekah untuk mengukuhkannya sebagai seorang Sultan yang bergelar sayyidin panata gama, kalifatullah ing tanah Jawi. Dengan cerdik pula, Sultan Agung mengubah kalender Jawa dengan penanggalan Islam, sehingga orang Jawa kemudian mengenal nama bulan seperti Sawal, Selo, Besar, Suro, Sapar, Mulud, Bakda-mulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah lan Poso.

         Namun, prinsip penundukan (vassal) dan pertuanan (overlord) tetap saja tidak bisa dielakkan. Dianggap sebagai ancaman, Sultan Agung pernah mengirim ekspidisi penyerangan ke daerah para wali, di Giri pada 1635. Setelah itu Mangkurat II meneruskan untuk menghancurkannya pada 1680. 
           Begitulah kalau saja kekuasaan dikonstruks seperti ‘sawah’ –komoditi yang hanya bisa diperluas dengan cara mempersempit ‘sawah’ milik orang lain.
         Konstruks kekuasaan dengan metafor ‘sawah’ itu tampak masih dijalankan oleh sementara penguasa di jaman Indonesia modern. Penundukan dan pertuanan masih dipelihara. Pemilu, sebagai wujud system demokrasi, bisa ‘ditekuk-tekuk’ sehingga tetap menghasilkan system kekuasaan yang diselimuti oleh nilai-nilai ‘kebinataraan’.

         Kekuasaan lalu digunakan untuk membatasi partisipasi. Kekuasaan lalu dimanfaatkan untuk memperbesar kewenangan. Kekuasaan bukan untuk menciptakan altruisme atau kebaikan bersama, melainkan untuk meneguhkan predikat homo politicus yang sekaligus homo economicus sang pemegang kekuasaan.

         Buku Agama Priyayi ini saya tulis untuk dijadikan teman diskusi bagaimana sebenarnya kekuasaan itu harus dicari, dan dipergunakan. Kesejahteraan, kedamaian dan kesentausaan hidup bersama memang membutuhkan sejumlah kuasa. Namun, kuasa yang bukan disalah gunakan dan disalah artikan.
        Perburuan kekuasaan yang terjadi selama ini saya coba gambarkan dalam buku Agama Priyayi. Penulisan buku ini telah saya upayakan tersajikan secara sistematik.

         Dimulai dengan memahami konstruks dan mode pengelolaan kekuasaan. Pembaca diajak menelusuri konstruks elite, Jawa dan juga pemikir Islam tentang Kekuasaan. Dari sini pula pembaca diajak melakukan refleksi energi politik atau kekuasaan yang diambil dari agama. Agama di mata penguasa, tidak saja sebagai payung suci, tetapi juga sebagai alat legitimasi.
           Pada bagian kedua, pembaca lalu diajak melakukan refleksi tentang kekerasan dalam mengelola kekuasaan. Dari sini pembaca diharapkan bisa menemukan akar kekerasan, mengenali pelaku dan ketidak pekaan moralitas elite –sehingga kekuasaan seakan tidak mungkin ditegakkan tanpa harus dikawal dengan kekerasan.
          Pada bagian ketiga, pembaca diajak untuk melihat Pemilu. Mengapa Pemilu? Pemilu adalah cara yang efektif untuk memberi kesempatan secara terbuka kepada rakyat memilih pemimpinnya. Pada awalnya demikian. Pemilu hendak dijadikan sebagai upaya memilih pemimpin yang adil. Pemimpin yang bisa mensejahterakan rakyatnya. Pemimpin yang dapat digambarkan sebagai ‘raja yang adil’ sehingga ‘rakyat rela menyembah’. Namun, kalau ternyata yang terpilih adalah ‘raja yang lalim’ maka rakyat akan menyanggah dan memberikan perlawanan.
          Pada bagian keempat pembaca diajak untuk memasuki ranah pluralitas budaya. Budaya multicultural, sikap dan moralitas positif demokrasi, birokrasi yang transparan dan pluralitas keagamaan yang memiliki mekanisme konsensus, merupakan prasyarat yang amat dibutuhkan untuk membangun kehidupan yang dibangun atas dasar kesamaan, kesedarajatan dan rasa persaudaraan.
          Di bagian kelima pembaca diajak melakukan refleksi terhadap sejarah politik dan Indonesia dari masa Orde Baru dan memasuki reformasi. Dengan menelusuri apa yang telah dilakukan bangsa ini, diharapkan dapat diperoleh pencerahan yang dibutuhkan untuk membangun formasi sosial, ekonomi dan politik Indonesia ke depan.
          Artikulasi politik dari mayoritas penduduk negeri yang beragama Islam menjadi topik kajian di bagian keenam. Pembaca diajak untuk melakukan refleksi bagaimana Politik Islam diartikulasikanj oleh para aktifis dan semua komunitas Muslim di negeri ini. Komunitas ini pernah terpinggirkan.

         Namun, di kemudian hari, ruang publik semakin terbuka bagi partisipasi komunitas santri dalam ekonomi politik. Konstrain secara eksternal dan structural masih saja ada, namun tidak lagi seperti yang terjadi seperti pada masa kekuasaan di pegang rejim otoriter. Di jaman reformasi, di mana kekuasaan dikelola secara plural, komunitas muslim semakin berpeluang mengekspresikan identitas, aspirasi dan juga kepentingan politiknya.
         Tulisan dalam buku Agama Priyayi ini bermaksud membantu para mahasiswa, dosen dan juga para pemerhati yang tertarik untuk mempelajari dan mendalami ilmu politik, khususnya tentang kekuasaan dan perubahan politik di Negara berkembang seperti Indonesia.

         Para pengambil kebijakan, aktivis kemasyarakatan dan semua saja yang berkepentingan kerja praktis dalam dunia ekonomi politik, bisa memanfaatkan informasi yang tersaji dalam buku ini. Tentu saja masih banyak kekurangan. Penulis mengharap sidang pembaca memberikkan catatan dan komentar untuk kesempurnaan penulisan ini.