https://search.google.com/search-console/removals?resource_id=https%3A%2F%2Fzetende.blogspot.com%2F

Friday, October 18, 2019


DI ERA POLITIK LIBERAL,


Di ruang yang gelap sebatang korek api pun bermanfaat



Prof. Zainuddin Maliki, ketiga dari kiri.

Sebatang korek api pun bermanfaat jika dinyalakan. Ia bisa menjadi penerang. Setidaknya untuk menemukan jalan keluar di tengah ruang yang gelap. Pikiran itu disampaikan Prof. Zainuddin Maliki, anggota DPR RI Fraksi PAN di depan audiens diskusi publik “Parlemen Baru: Harapan dan Tantangan di Era Politik Liberal,” yang digelar Forum Instruktur Nasional PAN kerjasama Universitas Muhammadiyah Jakarta kemarin (18/10).

Pikiran itu disampaikan menjawab tanggapan senada dari Dekan FISIP UMJ – Dr. Ma’mun Murod Al-Barbasy, Fadli Ramadhanil SH, MH - Program Manajer PERLUDEM, Ketua Presma BEM UHAMKA Jakarta – Arif Rahman Hakim, Ketua PBHMI – Arya Kharisma, Ketua DPP IMM – Najih Prasetiyo dan Fathurrohman Fadli, MSi – dosen UNPAM, bahwa hadirnya sosok baru di DPR hasil pemilu 2019 tidak akan merubah keadaan.

Pada intinya mereka menyatakan bahwa anggota DPR baru meski jumlahnya hampir separoh dari 575 anggota yang ada tidak akan beda dengan DPR yang lama, karena dihasilkan dari system yang buruk. “Kalau systemnya buruk, pasti hasilnya pun buruk,” tegas Ma’mun. “Agar politik tidak semakin liberal, oleh karena itu systemnya harus diubah. Kembalikan kepada system pemilu tertutup dan lakukan amandemen untuk kembali ke UUD 1945 yang asli,” tambahnya.

Bagi Zainuddin Maliki, mengembalikan kepercayaan masyarakat memang tidak mudah di tengah-tengah mosi tidak percaya mahasiswa kepada DPR. Apalagi monetisasi terjadi di hampir semua proses pemilu dan bahkan proses politik, telah menjadikan politik berongkos mahal.

“Ibarat nyala sebatang korek api, memang tidak akan cukup untuk memberi penerang seluruh ruang, tetapi setidaknya bisa dijadikan lentera untuk menemukan jalan keluar,” ungkap anggota DPR RI Fraksi PAN dari Dapil X –Gresik Lamongan, Jawa Timur ini. “Saya ingin menyalakan meski hanya jadi sebatang penthol korek api,” ungkapnya.

Mengenai perubahan system politik mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya itu menegaskan bahwa negeri ini sudah berulang kali merubah system pemilu, hasilnya kita masih berada di halaman belakang di Asia yang kini memimpin pergeseran ekonomi dunia.

“Sedihnya lagi kita bukan hanya menjadi soft state seperti yang dilansir Gunnar Myrdal. Kita sedang berada dalam posisi leadershipless state – negara yang tidak memiliki pemimpin yang kredibel, yang memiliki integritas dan kapasitas untuk melakukan trajectory ke halaman depan Asia Baru,” tegas anggota Fraksi PAN yang baru pertama terpilih sebagai anggota DPR itu.

Jadi problemanya bukan pada pilihan system, melainkan ada pada faktor manusianya. Di tangan manusia yang insyaf dan waras, system yang buruk pun bisa membuahkan hasil baik.

Menurut Zainuddin, di tengah monetisasi politik yang menyebar seperti sekarang ini kita masih bisa mengajak masyarakat untuk insyaf dan berfikiran waras dengan memilih bukan karena uang, tetapi karena pertimbangan politik nilai.

"Kami berhasil meyakinkan setidaknya 51 ribu lebih pemilih saya akan pentingnya jihad politik nilai," ungkapnya. "Jadi saya tidak memberi uang kepada pemilih. Pemilih yang memberi uang saya. Pemilih juga yang mempersiapkan segala sesuatunya untuk tatap muka selama kampanye," demikian pungkasnya.
n3f

Tuesday, October 15, 2019

LEADERSHIPLESS STATE YANG MUNCUL JIKA DEMOKRASI SERBA BERBAYAR



Oleh: Prof. Dr. Zainuddin Maliki, MSi.

Saya kira Arteria Dahlan berjasa melambungkan nama Edward Aspinall. Profesor dari Departemen Perubahan Sosial dan Politik, Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University ini sekonyong-konyong terkenal di Indonesia. Hal itu berkat Arteria Dahlan yang tampak bersitegang dengan Prof. Emil Salim di salah satu acara televisi yang kemudian menjadi viral.

Andaikata tidak ada peristiwa itu, saya kira apa yang disampaikan Prof. Emil Salim akan terkesan datar-datar saja. Saat itu Prof. Emil menggambarkan pemilu di negeri ini belum bisa melahirkan pemimpin yang kredibel sembari menyebut buku barunya Aspinall yang ditulis dengan Berenschot, Democracy for Sale: Elections, Clientelism and the State in Indonesia (2019).

Pemilihan yang kita jalankan kata Prof. Emil belum tentu kredibel. “Memang betul politisi sekarang ini dipilih, tetapi apa betul dipilih dengan benar. Berapa ongkos yang dikeluarkan. Darimana uang itu didapatkan," cecarnya yang membuat perdebatan dengan Arteria Dahlan itu jadi panas. Sekaligus ketegangan itu memicu orang merasa perlu baca bukunya Aspinall.

Banyak yang penasaran tentang isi buku ini. Dalam bukunya, Aspinall mengurai keanehan dalam demokrasi di negeri ini. Ada jejaring dan berbagai strategi politik yang tak beraturan untuk mengejar kekuasaan dan privilese dalam politik Indonesia kontemporer.  Ada koneksi dan pertukaran yang bercorak personal dan klientalistik.

Aspinall rupanya tidak berani bilang pertukaran itu dilakukan terang-terangan atau kasat mata. Dikatakan semua itu dilakukan di pasar gelap alias terselubung. Semua tingkat dan institusi formal dibayangi praktik pertukaran berdasar relasi klientalisme itu. Mereka yang memenangi pemilu, adalah mereka yang bisa mendistribusikan berbagai projek, memberi uang tunai atau barang kepada para pemilih. Masyarakat pun berharap memperoleh pemberian itu.

Aspinall juga menyediakan jawaban terhadap pertanyaan Prof. Emil Salim tentang darimana uang diperoleh oleh peserta pemilu. Dalam buku ini dilaporkan dana kampanye antara lain diperoleh dengan cara memperjual-belikan kontrak, perizinan dan berbagai manfaat lain kepada para pengusaha. Dari sini terbentuk relasi pelaku ekonomi dengan kekuasaan.

Kalau ada pepatah yang menyatakan, musuh terberat adalah kawan terdekat, begitulah Aspinall memperoleh data. Para peserta pemilu terlibat dalam pertarungan yang tak ada ujungnya dengan politisi saingan mereka, di samping juga dengan birokrat. Mereka berebut kendali berbagai sumber daya negara dalam rangka membiayai kegiatan politiknya.

Peserta pemilu bukan bergantung pada partai. Mereka lebih banyak bergantung pada struktur organisasi yang bersifat sementara dan personal yaitu  tim sukses. Tim ini yang mengelola kampanye mereka. Koneksi personal karena hubungan kekerabatan, pertemanan, jaringan usaha, agama atau pun suku mengalahkan loyalitas pada partai.

Para agen politik digambarkan oleh Aspinall sering melelang jasa mereka kepada penawar tertinggi. Birokrat, dan bukannya partai, yang memegang kendali atas sumber daya negara, merekalah aktor kunci dalam kampanye pemilu (lihat http://obor.or.id/index.phproute=product/product&product_id =860).

Sebagai pelaku dalam pemilu 2019 menjadi calon DPR RI dari PAN  Dapil X Jatim saya merasakan sendiri di lapangan seperti gambaran Aspinall. Nyaris semua tahapan pemilu, mulai dari persiapan, tahapan pengumpulan dan penghitungan suara serba berbiaya. Boleh dikata telah terjadi monetisasi dalam pemilu, notabene salah satu fungsi pemilu adalah sebagai perwujudan system demokrasi.

Beruntung monetisasi itu benar-benar dapat saya hindari selama mengikuti kontestasi pada pemilu 2019. Saya tidak terbawa arus utama monetisasi itu. Banyak yang sangsi dengan apa yang saya lakukan. Tetapi kemudian terkejut ketika melihat hasil penghitungan suara. Ternyata masih ada masyarakat yang memilih berdasarkan politik nilai, dan bukan monetisasi seperti yang ditunjukkan pemilih saya di Gresik dan Lamongan Jatim.

Kendati demikian benar seperti yang dikatakan Aspinall bahwa yang menentukan kemenangan saya adalah struktur organisasi yang bersifat ad hoc yaitu  tim sukses. Tim ini yang mengelola kampanye saya. Namun dengan catatan tebal, bahwa tim bekerja bukan atas dasar monetisasi melainkan dilaksanakan atas dasar spirit voluntaristik.

Hanya saja benar, monetisasi pemilu telah menjelma menjadi arus utama dalam mengakses jabatan politik. Inilah yang dikhawatirkan Prof. Emil Salim, monetisasi bisa menyebabkan pemilu tidak otomatis menghasilkan pemimpin yang kredibel.

Kalau pemilu berongkos mahal tetapi tidak lahir pemimpin kredibel, maka negeri ini terancam mengalami leadershipless - negeri tanpa pemimpin kredibel. Berbahaya jika pemimpin yang muncul yang tidak memiliki integritas dan kapasitas. Akibatnya aset negara tak terurus, yang diurus salah urus. Sementara itu berbagai elemen bangsa terjerumus dalam pertengkaran tak berkesudahan karena tak terkonsolidasi. Tentu keadilan dan kesejahteraan juga tidak akan tumbuh dengan baik.

Friday, October 11, 2019

BEGINI CARA MENGINTIP RELASI NEGARA DENGAN RAKYAT

Caption: Prof. Dr. Zainuddin Maliki, MSi (kiri) dengan MY Zaini dan Ridwan Hisyam FPG (kanan).

Ingin membaca relasi ruling elite atau negara dengan rakyat? Relasi itu bisa di lihat ketika negara hadir di berbagai isu dan masalah krusial. Melihat cara penanganan anarkisme akhir-akhir ini, misalnya. Di beberapa kasus telihat ada jarak psikologis antara elite dengan rakyat yang berperilaku anarkis. Membaca gejala seperti ini ada baiknya untuk melihat sebenarnya seperti apa pola relasi negara dengan masyarakatnya.

Guna melihat relasi negara dengan rakyat  seperti apa, bisa baca catatan Eric A. Nordlinger dalam  tulisannya, Taking the State Seriously (1994). Di situ Nordlinger melihat relasi negara dan rakyat dengan mengukur derajad otonomi negara (state autonomy) dan tinggi rendahnya dukungan masyarakat terhadap negara (societal support for the state) yang bersangkutan. Dia gambarkan empat tipologi dalam hal ini, type negara kuat ditandai dengan otonomi kuat dukungan tinggi. Type negara independen - otonomi tinggi dukungan rendah. Type negara responsive - otonomi rendah dukungan tinggi. Type negara lemah - otonomi dan dukungan lemah. 

Untuk kepentingan  menganalisis tema tulisan ini  kita coba  masuki dua tipologi yang tersebut pertama di atas. Pertama dalam tipologi negara kuat (strong state), negara memiliki otonomi yang kuat dan memperoleh dukungan tinggi dari rakyat. Negara di tangan elite benevolent berpeluang besar bagi tumbuhnya tipologi negara kuat karena benevolent elite  tampil bijak. Selalu hadir di tengah masalah dan banyak menebar kebajikan di tengah masyarakat. Mereka buka ruang partisipasi  dan berusaha menghindari mobilisasi.  Aturan dipatuhi dan dilaksanakan dengan tertib dan adil. Mereka memiliki kapasitas dan keahlian dalam mengorganisir modal finansial maupan sosial. Kekuasaan bukan untuk dirinya sendiri (power for himself) tetapi untuk menciptakan kebaikan bersama.

Kedua, berbeda dengan negara kuat, tipologi negara independen dalam hal ini negara memiliki derajat otonomi tinggi tetapi dukungan dan legitimasi dari rakyat rendah. Dalam negara dengan otonom tinggi berpotensi besar negara memiliki agenda dan kepentingan yang tidak sama dengan kepentingan rakyat. Negara punya interest sendiri berbeda dengan aspirasi  dan interest rakyat. 

Di dalam tipologi negara independen,  elite cenderung menggunakan hukum pilihan rasional (rational choice). Preposisi teori rational choice menyebutkan bahwa setiap orang (baca: elite) dinilai wajar jika memaksimalkan kepentingannya sendiri daripada kepentingan orang lain (baca: rakyat). 

Dengan preposisi pilihan rasional itu maka di dalam negara independen mudah tumbuh kultur dan model mental elite yang cenderung tebang pilih dalam menjalankan hukum, aturan dan perundang-undangan. Dalam menangani anarkisme, elite akan bereaksi cepat jika korbannya adalah properti, simbol, lambang atau representasi kepentingan kekuasaan, tapi tidak demikian responnya ketika yang mendapat musibah, bencana atau jadi korban kekerasan adalah rakyat.

Kenapa harus lewat kekerasan? Ternyata masih ada saja masyatakat yang belum kunjung menyadari, bahwa kekerasan dalam praktik justru melahirkan kekerasan baru. Coba lihat terorisme yang marak di negeri ini hanya memicu negara untuk memperkuat aparatur represif secara sistematik. Lihat saja, teror di Jalan Thamrin Jakarta, Januari 2016, juga bom tak bermoral di Surabaya, Sidoarjo dan Riau 2018, semakin menaikkan hasrat negara meminta legitimasi peraturan perundangan untuk memperkuat tindakan represivenya. 

Harus dicatat bahwa hanya negara yang diberi kewenangan untuk menggunakan kekerasan. Namun  kekerasan negara (state violence) hanya boleh digunakan sesuai undang-undang. Jika tidak sesuai peraturan dan perundangan yang ada justru bisa menginspirasi dan mengkonspirasi lahirnya kekerasan masyarakat, terutama ketika penggunaan kekerasan yang sah oleh negara itu digunakan secara berlebihan. Negara diberi kewenangan untuk menjalankan dan menggunakan aparatur represif dimaksudkan untuk menciptakan tertib sosial (social order) dan mencegah agar tidak terjadi dan tidak berjalan hukum homo homini lupus di mana manusia berubah menjadi serigala bagi manusia yang lain yang saling memangsa.

Adalah para penganut mazhab Frankfurt yang sadar bahwa radikalisme dan revolusi berdarah yang ditawarkan eksponen Marxisme ortodok hanya melahirkan kekerasan baru dan tidak bisa membantu upaya mencapai tujuan yang dicita-citakan. Semua itu telah memberi pelajaran kepada para eksponen teori kritis yang dimotori eksponen dari mazhab Frankfurt untuk tidak menyarankan kekerasan sebagai jalan keluar. Mereka lebih menyarankan untuk membangun gerakan kultural dan intelektual dalam melakukan perlawanan terhadap tekanan struktural.

Wednesday, October 9, 2019

PEMBAYAR MAHAR DI PENYUSUNAN KABINET yang tinggal hitung hari













   Aktivis bersama Muhadjir Effendy, ideolog Muhammadiyah yang jadi Menteri.


Oleh: Prof. Dr. Zainuddin Maliki, MSi.

Pelantikan Presiden tinggal hitung hari. Susunan kabinet jadi topik aktual saat-saat begini. Narasi yang mengemuka di televisi, forum diskusi, dan di berbagai ruang spekulasi menyebut sejumlah nama dengan berbagai argumen penguat, terutama karena integritas dan kompetensinya. 

Tetapi sadarkah bahwa pusaran politik saat ini telah didominasi the power of money –kekuatan uang. Mereka yang sanggup membayar mahar politik, yang bisa ambil dan mengendalikan kekuasaan. Sedikit saja mereka yang menggenggam kekuasaan politik tanpa mahar. Dalam politik berlaku adagium tidak ada makan siang gratis.

Dalam praktik, politik lalu menjadi arena para pembayar mahar, pemburu rente dan pemodal besar. Politik kini sesungguhnya lebih merupakan arena permainan para pelaku ekonomi atau pemodal besar -langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu tidak aneh kalau ada yang pesimis bahwa para ideolog, aktivis pergerakan, dan para pencerah dengan andalan integritas dan kompetensi mereka bisa memperoleh ruang di penyusunan kabinet pemerintahan nanti. Para penggerak dan aktivis yang kaya dengan gagasan-gagasan ideologis terpinggirkan dengan sukses dari percaturan politik. 

Para pemodal dan pelaku ekonomi berada di mainstream poltik, mereka bawa logika ekonomi ke ranah politik yaitu logika “menanam investasi sekecil-kecilnya untuk menangguk untung sebesar-besarnya”. Politik lalu berubah menjadi arena permainan dengan pola transaksional. Matilah filsafat dan ideologi. Pembicaraan filsafat dan ideologi yang keluar dari narasi penguasa jadi dangkal dan tak berisi. Bahkan tak sedikit yang terkesan basa-basi.

Tesis sosiolog dari Harvard University, Daniel Bell (1960) tentang the End of Ideology, matinya ideologi-ideologi besar pada abad 19 dan awal abad 20, mendapat bukti yang kian jelas. Saat ini, bukan hanya ditandai dengan absennya politisi yang mampu menjelaskan gagasan ideologis mereka. Arena politik diisi oleh para pemburu kekuasaan.

Panggung politik kemudian –boleh dikata sepenuhnya berada dalam genggaman orang-orang kaya. Politik menghasilkan kekuasaan berbasis uang, dan bukan lagi berbasis ideologi. Lahirlah regime politik uang, yang oleh Kevin Phillips (2002) disebut dengan rejim Plutocracy, yakni regime yang dikendalikan oleh orang-orang kaya.

Dalam regim plutocracy, roda pemerintahan dijalankan berdasarkan rule of the rich, berdasarkan kemauan dan kepentingan orang kaya, dan bukan didasarkan kepada kemauan dan kepentingan orang miskin, kaum buruh maupun orang-orang lemah.

Peristiwa dan proses-proses politik, terutama pemilu atau pilkada, dipandang oleh masyarakat sebagai peristiwa dan proses politik yang tak lepas dari persebaran uang. Politik transaksional berlangsung, mulai dari yang tertutup hingga yang kasat mata.

Dengan demikian “uang” adalah kekuatan utama dalam politik transaksional. Dalam budaya politik transaksional seperti itu tidak berlaku ideologi politik. Begitu pun politik aliran. Politik aliran juga tidak laku dan hanya menjadi narasinya orang-orang pinggiran. Termasuk aliran pemahaman keagamaan sekalipun. Sekarang ini tidak berlaku istilah the power of knowledge –kekuatan ilmu pengetahuan dikalahkan the power of financial. 

Sunday, September 29, 2019

Prof. Dr. Zainuddin Maliki, MSi: WASPADAI TURBULENSI POLITIK DAN PREDATORY DEMOCRACY

          Politik di negara kita, akhir-akhir ini tampaknya sedang mengarah ke arah turbulensi. Saluran politik konvensional dinilai buntu sehingga mendorong munculnya gerakan protes melalui jalur nonkonvensional. Ribuan mahasiswa turun ke jalan. Berawal dari isu kebakaran hutan lalu berkembang kepada penolakan penetapan RUU KPK, RUU KUHP, RUU Pertanahan dan RUU Ketanagakerjaan yang dikebut untuk disahkan oleh DPR periode 2014-2019.
        Tampaknya belakangan muncul berbagai kekuatan reformis, reaksioner maupun kekuatan yang berangkat dari semangat kelompok, etnis, dan juga kepentingan tertentu. Bangsa yang berakar pada keanekaragaman, sejauh ini telah berupaya untuk bersatu di tengah perbedaan dan keanekaragaman. Banyak yang tanpa mengenal lelah meneriakkan semboyan NKRI harga mati, dan bhineka tunggal ika. Namun masih saja muncul prasangka,  sikap saling curiga, beberapa di antaranya saling berusaha memusnahkan seperti terlihat dalam kericuhan saat berlangsung demonstrasi di Jakarta maupun sejumlah kota lainnya. Masing-masing siap dengan segala macam alat-alat pemusnah mulai dari senjata tajam, pentungan, batu, peluru karet. [1]
    Situasi seolah mengubah karak­teristik bangsa Indonesia, yang sebelumnya selalu mengklaim diri sebagai bangsa terhormat, ramah dan santun, tiba-tiba kemudian lebih menggambar­kan apa yang disebut Thomas Hobbes, man's natural state is the war of "every one against every one."[2]
     Tentu kita tidak ingin terjadi apa yang digambarkan Muis. Meminjam istilah Barrington Moore JR (1973) digambarkan Indonesia menghadapi benturan antara kekuatan reak­sioner, revolusioner dan reformis dengan semangat saling menghancurkan. Kalau ini yang terjadi bisa memunculkan demokrasi predator (predatory democracy). Menurut Moore, sebagaimana di­ku­tip Muis, predatory democracy ditandai dengan ciri-ciri bloody chaos and collapse of natio­nal authority to the point where human life mainly a war of all against all with tiny islands of law and order under the control of strong men waging vendettas against each other.[3]
       Bangsa Indonesia sejak reformasi terus menerus menjum­pai begitu banyak gangguan tertib sosial, berupa konflik dan bahkan perang saudara —perang antar agama Islam-Kristen di Ambon (2011), antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah (2001), pertum­pahan darah di tanah Aceh, berbagai macam kerusuhan, pembakaran, pengeboman, teror dan praktek kriminalitas di berbagai tempat.
      Keadaan semakin memburuk ketika tidak ada kekuatan efektif yang dapat menghentikan segala macam bentuk anarkisme tersebut. Elite politik, terkesan tidak melakukan langkah-langkah efektif dalam memecahkan masalah. Intrik, kebohongan, kecurangan dan kekerasan justru merebak.
      Bangsa Indonesia lalu benar-benar dihadapkan kepada krisis sosial dan turbulensi politik, di­tandai dengan an­caman disintegrasi, kriminalitas, teror, tindak kekerasan —baik individual mau­­pun kelompok— yang dipicu sentimen kepentingan ekonomi, politik, etnis dan bahkan juga sentimen keagamaan. 
          Francis Fukuyama menyatakan bahwa dalam rangka membangun kehi­dup­an bersama, tidak saja membutuhkan modal fisik seperti tanah bangunan, me­sin, mau­pun modal sumberdaya manusia seperti skill dan pengetahuan, melainkan juga mem­butuh­kan apa yang disebutnya dengan modal sosial.
           Fukuyama me­nyatakan: Social capital can be de­fined simply as a set of informal values or norms shared among members of group that per­mits cooperation among them. If a membesr of the group come to expect that others will behave reliably and honestly, then they will come to "trust" one another. Trust is like a lubricant that makes the running of any group or organization more efficient.[4] 
             Jadi untuk bisa keluar dari turbulensi politik dan menghentikan praktik predatory democracy bangsa ini memerlukan modal sosial, terutama trust atau kepercayaan untuk dijadikan landasan terbentuknya sebuah nation state yang di dalamnya se­tiap warga dapat ber­sikap jujur, dapat dipercaya satu dihadapan yang lain. Oleh karena itu modal sosial, trust, sesuatu yang amat kita butuh­kan harus dicegah dari kemerosotan. Masyarakat kita terutama yang berada pada lapisan elite politik dan governing elite harus memperkaya jiwa, jauhi miskin hati, dan rakus kekuasaan. Sebaliknya bangun  setinggi-tinggi rasa empati kepada rakyat dan seluruh warga negara, untuk Indonesia jaya dan berkemajuan.

-------------------

[1] Munculnya institusi para-militer yang ada selama ini juga tak bisa dilepaskan dari masih tingginya prasangka di balik keanekaragaman sosial politik kita. Seperti juga di sejumlah negara berkembang, di negeri ini juga muncul para-militer atau semacam milisi yang dibentuk sejumlah organisasi massa dan partai politik. Menyusul organisasi para militer seperti Banser, Kokam, Garda Bangsa ada juga Satgas Cakra Buana PDI-P, Gerakan Pemuda Ka'bah dari milisi partai, Lasykar Jihad, Front Pembela Islam (FPI), Front Hisbullah dari milisi Islam. Kelompok Kristen misalnya juga memunculkan Lasykar Yesus Kelelawar Hitam menghadapi insiden di Poso, dan sejumlah lasykar Kristen di daerah-daerah kon­flik Islam-Kristen di Ambon dan Maluku Utara 1999. Rakyat Irian Jaya membentuk milisi, meski tak dipersenjatai, seperti Satgas Papua Merdeka yang mengorganisir diri mirip organisasi militer. Menarik pada era ini juga muncul para-militer atau milisi yang pem­bentukannya tidak atas dasar alasan politik, melainkan ekonomi. Di Mataram mis­al­nya, tahun 1999 muncul Milisi Bujak dan Amphibi. Bujak me­leng­kapi puluhan ribu anggotanya dengan senjata dan handy talkie untuk memburu para penjarah dan maling-maling ternak. Lihat Henk Schulte Nordholt dkk, edt., Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor, 2007.
[2] Lihat Thomas Hobbes kutip Francis Fukuyama, The Great Disruption: Human Nature and the Reconstruction of Social order, New York: The Free Press, 1999 hal.6.
[3] Lihat A. Muis, "Predatory Democracy," Kompas, Selasa, 30 Januari 2001.
[4] Francis Fukuyama, opcit, hal 16. 

google.com, pub-8753603595595254, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Sunday, September 22, 2019

KENAPA HARUS LINDUNGI DIRI SENDIRI DARI BENCANA
KARENA REZIM YG HARUS BEREAKSI CEPAT TAPI SUKA TERLAMBAT

Perlindungan masyarakat dari ancaman bencana haruslah dilakukan oleh semua pihak, pemerintah, pengusaha maupun masyarakat. Tentu saja yang paling mendesak adalah menumbuhkan kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk melindungi diri sendiri dari ancaman dan resiko bencana. Setidak-tidaknya ada 5 hal yang menyebabkan pentingnya melakukan penguatan masyarakat dalam melindungi diri sendiri dari bencana.
Pertama, masyarakat itu sendiri yang menjadi korban dari bencana. Maka yang bergerak pertama kali merespon bencana adalah masyarakat dan bukan pihak lain. Team reaksi cepat yang disiapkan pemerintah acapkali datang terlambat. Padahal masyarakat sudah harus merespon bencana sejak menit-menit pertama. Kita membutuhkan masyarakat memiliki kemampuan melakukan pengurangan resiko bencana sebelum bantuan orang lain tiba. Masyarakatlah yang terkena bencana, dan paling awal harus berbuat. Oleh karena itu masyarakat harus memiliki kemampuan penguasaan sumber daya, cara dan kekuatan untuk mengurangi tingkat risiko bencana. Masyarakat harus memiliki cara mempertahankan dan mempersiapkan diri, mencegah, menanggulangi, meredam, serta dengan cepat memulihkan diri dari akibat bencana.
Kedua, tidak banyak yang bisa diharapkan dari pemihakan kebijakan pembangunan, karena kebijakan pembangunan –khususnya industri ekstraktif, sebagaimana digambarkan di muka acapkali tidak berpihak kepada perlindungan kepentingan dan keselamatan masyarakat banyak. Kenyataan ini membenarkan pemikiran para penganut Marxian, bahwa pada akhirnya, yang bisa membela dan melindungi rakyat kecil, adalah rakyat kecil itu sendiri. Dalam konflik kepentingan antar klas, maka klas pekerja dan wong cilik harus melindungi diri sendiri. Sulit mengharap kepekaan kalangan elite, wong gedhe, pemilik modal atau kaum borjuis untuk memperhatikan kepentingan dan keselamatan rakyat kecil, klas pekerja atau kaum proletar. Dalam konteks inilah maka menjadi penting dilakukan penguatan masyarakat kecil agar mereka memiliki kemampuan dan daya tahan menghadapi krisis lingkungan dan bencana.[1]
Ketiga, membangun ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana, yang paling efektif apabila berbasis masyarakat (bottom up approach). Intervensi dari pemerintah dan pihak lain (top down approach) –sebelum, pada saat tanggap darurat maupun paska bencana, acapkali a-historis sehingga bisa menjadi tidak berjalan karena tidak memperhatikan harapan dan konstruk masyarakat tentang bencana. Banyak pengalaman menunjukkan masyarakat kehilangan kemandiriannya ketika terlalu banyak program intervensi –apalagi intervensi itu diwujudkan dalam bentuk program yang bersifat karitatif. Masyarakat tidak bisa menjadi subyek bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu, kita perlu mendengar saran kalangan pemikir teori kritis (critical theory) yang menyatakan bahwa meningkatkan kualitas hidup manusia –termasuk di dalamnya cara merespon bencana, haruslah dengan cara mengembangkan dan meningkatkan kesadaran diri (self-consciousness) dan memahami perkembangan sosial politik yang ada, yang pada muaranya “manusia harus dapat menjadi subyek dan secara aktif menentukan cara hidupnya sendiri.”[2]
Keempat, paradigma penanggulangan bencana bergeser dari tanggap darurat kepada pendekatan mitigasi dan preparadness.[3] Dalam upaya melakukan mitigasi dampak bencana itulah, sangat diperlukan pemahaman terhadap prinsip-prinsip dinamika yang berubah begitu cepat dalam fenomena alam. Dalam konteks mitigasi, maka perubahan iklim yang menjadi sebab munculnya bencana tersebut seharusnya menjadi pusat perhatian.
Kelima, masyarakat selalu memiliki pengetahuannya sendiri (indigenous knowledge) dan strategi atau cara mereka sendiri (coping strategis) dalam merespon bencana. Pengetahuan mereka tak jarang jauh lebih bagus dibanding yang dimiliki ekspert di bidang bencana sekalipun. Dengan pengetahuan dan strategi mereka sendiri itulah yang menyebabkan mereka survive. Begitu banyak masyarakat akhirnya bisa bertahan dengan survival strategy –nya sendiri. Itulah sebabnya Brian Ward, mantan Direktur Asian Disaster Preparadnes Center, sangat apresiatif terhadap keunggulan petani di Bangladesh, bukan hanya dalam memahami betapa rentan mereka menghadapi bencana, tetapi juga dalam mengatur strategi merespon bencana. Brian bahkan berani mengatakan petani di Bangladesh memiliki pengetahuan lima belas tahun lebih maju dibanding seorang Ph.D.[4]
----------
[1] Baca pemikiran pemihakan terhadap mereka yang lemah dari kalangan pemikir Marxian dalam Zainuddin Maliki, Rekonstruksi Teori Sosial Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012. Mengenai pandangan pemikir Marxian tentang kerusakan lingkungan dan pengasingan masyarakat lokal dan para petani dari tanah ulayatnya sendiri akibat eksploitasi ekonomi kaum kapitalis dapat dibaca dalam John Hannigan, Environmental Sociology, London and New York: Routledge, 1995, hal. 8.
[2] Ibid, hal. 223
[3] Termotivasi dari kehancuran 26 Desember 2004 akibat gempa dan Tsunami Samudra Hindia, paradigma bencana bergeser dari pengelolaan tanggap bencana (Disaster Response) menjadi pengurangan resiko bencana (Disaster Risk Reduction), lihat DIBI BNPB-UNDP, 2010.
[4] Survival strategy warga pinggiran Sungai Jamuna Bangladesh cukup unik. Mereka sudah mencari shelter sebelum bencana datang. Yang mereka lakukan penduduk tepi sungai Jamuna itu adalah mengawinkan anaknya dengan keluarga yang berada di daerah aman. Oleh karena itu ketika terjadi bencana sungai Jamuna mereka sudah punya pilihan tempat evakuasi. Lihat John Twigg, Disaster Risk Reduction: Mitigation in the Development and Emergencies Programming, London: Humanitarian Practice Network ODI, 2004, hal 131-135.