https://search.google.com/search-console/removals?resource_id=https%3A%2F%2Fzetende.blogspot.com%2F

Wednesday, October 9, 2019

PEMBAYAR MAHAR DI PENYUSUNAN KABINET yang tinggal hitung hari













   Aktivis bersama Muhadjir Effendy, ideolog Muhammadiyah yang jadi Menteri.


Oleh: Prof. Dr. Zainuddin Maliki, MSi.

Pelantikan Presiden tinggal hitung hari. Susunan kabinet jadi topik aktual saat-saat begini. Narasi yang mengemuka di televisi, forum diskusi, dan di berbagai ruang spekulasi menyebut sejumlah nama dengan berbagai argumen penguat, terutama karena integritas dan kompetensinya. 

Tetapi sadarkah bahwa pusaran politik saat ini telah didominasi the power of money –kekuatan uang. Mereka yang sanggup membayar mahar politik, yang bisa ambil dan mengendalikan kekuasaan. Sedikit saja mereka yang menggenggam kekuasaan politik tanpa mahar. Dalam politik berlaku adagium tidak ada makan siang gratis.

Dalam praktik, politik lalu menjadi arena para pembayar mahar, pemburu rente dan pemodal besar. Politik kini sesungguhnya lebih merupakan arena permainan para pelaku ekonomi atau pemodal besar -langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu tidak aneh kalau ada yang pesimis bahwa para ideolog, aktivis pergerakan, dan para pencerah dengan andalan integritas dan kompetensi mereka bisa memperoleh ruang di penyusunan kabinet pemerintahan nanti. Para penggerak dan aktivis yang kaya dengan gagasan-gagasan ideologis terpinggirkan dengan sukses dari percaturan politik. 

Para pemodal dan pelaku ekonomi berada di mainstream poltik, mereka bawa logika ekonomi ke ranah politik yaitu logika “menanam investasi sekecil-kecilnya untuk menangguk untung sebesar-besarnya”. Politik lalu berubah menjadi arena permainan dengan pola transaksional. Matilah filsafat dan ideologi. Pembicaraan filsafat dan ideologi yang keluar dari narasi penguasa jadi dangkal dan tak berisi. Bahkan tak sedikit yang terkesan basa-basi.

Tesis sosiolog dari Harvard University, Daniel Bell (1960) tentang the End of Ideology, matinya ideologi-ideologi besar pada abad 19 dan awal abad 20, mendapat bukti yang kian jelas. Saat ini, bukan hanya ditandai dengan absennya politisi yang mampu menjelaskan gagasan ideologis mereka. Arena politik diisi oleh para pemburu kekuasaan.

Panggung politik kemudian –boleh dikata sepenuhnya berada dalam genggaman orang-orang kaya. Politik menghasilkan kekuasaan berbasis uang, dan bukan lagi berbasis ideologi. Lahirlah regime politik uang, yang oleh Kevin Phillips (2002) disebut dengan rejim Plutocracy, yakni regime yang dikendalikan oleh orang-orang kaya.

Dalam regim plutocracy, roda pemerintahan dijalankan berdasarkan rule of the rich, berdasarkan kemauan dan kepentingan orang kaya, dan bukan didasarkan kepada kemauan dan kepentingan orang miskin, kaum buruh maupun orang-orang lemah.

Peristiwa dan proses-proses politik, terutama pemilu atau pilkada, dipandang oleh masyarakat sebagai peristiwa dan proses politik yang tak lepas dari persebaran uang. Politik transaksional berlangsung, mulai dari yang tertutup hingga yang kasat mata.

Dengan demikian “uang” adalah kekuatan utama dalam politik transaksional. Dalam budaya politik transaksional seperti itu tidak berlaku ideologi politik. Begitu pun politik aliran. Politik aliran juga tidak laku dan hanya menjadi narasinya orang-orang pinggiran. Termasuk aliran pemahaman keagamaan sekalipun. Sekarang ini tidak berlaku istilah the power of knowledge –kekuatan ilmu pengetahuan dikalahkan the power of financial. 

No comments: