https://search.google.com/search-console/removals?resource_id=https%3A%2F%2Fzetende.blogspot.com%2F

Friday, October 11, 2019

BEGINI CARA MENGINTIP RELASI NEGARA DENGAN RAKYAT

Caption: Prof. Dr. Zainuddin Maliki, MSi (kiri) dengan MY Zaini dan Ridwan Hisyam FPG (kanan).

Ingin membaca relasi ruling elite atau negara dengan rakyat? Relasi itu bisa di lihat ketika negara hadir di berbagai isu dan masalah krusial. Melihat cara penanganan anarkisme akhir-akhir ini, misalnya. Di beberapa kasus telihat ada jarak psikologis antara elite dengan rakyat yang berperilaku anarkis. Membaca gejala seperti ini ada baiknya untuk melihat sebenarnya seperti apa pola relasi negara dengan masyarakatnya.

Guna melihat relasi negara dengan rakyat  seperti apa, bisa baca catatan Eric A. Nordlinger dalam  tulisannya, Taking the State Seriously (1994). Di situ Nordlinger melihat relasi negara dan rakyat dengan mengukur derajad otonomi negara (state autonomy) dan tinggi rendahnya dukungan masyarakat terhadap negara (societal support for the state) yang bersangkutan. Dia gambarkan empat tipologi dalam hal ini, type negara kuat ditandai dengan otonomi kuat dukungan tinggi. Type negara independen - otonomi tinggi dukungan rendah. Type negara responsive - otonomi rendah dukungan tinggi. Type negara lemah - otonomi dan dukungan lemah. 

Untuk kepentingan  menganalisis tema tulisan ini  kita coba  masuki dua tipologi yang tersebut pertama di atas. Pertama dalam tipologi negara kuat (strong state), negara memiliki otonomi yang kuat dan memperoleh dukungan tinggi dari rakyat. Negara di tangan elite benevolent berpeluang besar bagi tumbuhnya tipologi negara kuat karena benevolent elite  tampil bijak. Selalu hadir di tengah masalah dan banyak menebar kebajikan di tengah masyarakat. Mereka buka ruang partisipasi  dan berusaha menghindari mobilisasi.  Aturan dipatuhi dan dilaksanakan dengan tertib dan adil. Mereka memiliki kapasitas dan keahlian dalam mengorganisir modal finansial maupan sosial. Kekuasaan bukan untuk dirinya sendiri (power for himself) tetapi untuk menciptakan kebaikan bersama.

Kedua, berbeda dengan negara kuat, tipologi negara independen dalam hal ini negara memiliki derajat otonomi tinggi tetapi dukungan dan legitimasi dari rakyat rendah. Dalam negara dengan otonom tinggi berpotensi besar negara memiliki agenda dan kepentingan yang tidak sama dengan kepentingan rakyat. Negara punya interest sendiri berbeda dengan aspirasi  dan interest rakyat. 

Di dalam tipologi negara independen,  elite cenderung menggunakan hukum pilihan rasional (rational choice). Preposisi teori rational choice menyebutkan bahwa setiap orang (baca: elite) dinilai wajar jika memaksimalkan kepentingannya sendiri daripada kepentingan orang lain (baca: rakyat). 

Dengan preposisi pilihan rasional itu maka di dalam negara independen mudah tumbuh kultur dan model mental elite yang cenderung tebang pilih dalam menjalankan hukum, aturan dan perundang-undangan. Dalam menangani anarkisme, elite akan bereaksi cepat jika korbannya adalah properti, simbol, lambang atau representasi kepentingan kekuasaan, tapi tidak demikian responnya ketika yang mendapat musibah, bencana atau jadi korban kekerasan adalah rakyat.

Kenapa harus lewat kekerasan? Ternyata masih ada saja masyatakat yang belum kunjung menyadari, bahwa kekerasan dalam praktik justru melahirkan kekerasan baru. Coba lihat terorisme yang marak di negeri ini hanya memicu negara untuk memperkuat aparatur represif secara sistematik. Lihat saja, teror di Jalan Thamrin Jakarta, Januari 2016, juga bom tak bermoral di Surabaya, Sidoarjo dan Riau 2018, semakin menaikkan hasrat negara meminta legitimasi peraturan perundangan untuk memperkuat tindakan represivenya. 

Harus dicatat bahwa hanya negara yang diberi kewenangan untuk menggunakan kekerasan. Namun  kekerasan negara (state violence) hanya boleh digunakan sesuai undang-undang. Jika tidak sesuai peraturan dan perundangan yang ada justru bisa menginspirasi dan mengkonspirasi lahirnya kekerasan masyarakat, terutama ketika penggunaan kekerasan yang sah oleh negara itu digunakan secara berlebihan. Negara diberi kewenangan untuk menjalankan dan menggunakan aparatur represif dimaksudkan untuk menciptakan tertib sosial (social order) dan mencegah agar tidak terjadi dan tidak berjalan hukum homo homini lupus di mana manusia berubah menjadi serigala bagi manusia yang lain yang saling memangsa.

Adalah para penganut mazhab Frankfurt yang sadar bahwa radikalisme dan revolusi berdarah yang ditawarkan eksponen Marxisme ortodok hanya melahirkan kekerasan baru dan tidak bisa membantu upaya mencapai tujuan yang dicita-citakan. Semua itu telah memberi pelajaran kepada para eksponen teori kritis yang dimotori eksponen dari mazhab Frankfurt untuk tidak menyarankan kekerasan sebagai jalan keluar. Mereka lebih menyarankan untuk membangun gerakan kultural dan intelektual dalam melakukan perlawanan terhadap tekanan struktural.

No comments: