Prof. Dr. Zainuddin Maliki, MSi , anggota Komisi X DPR RI, Fraksi PAN
Sewaktu berkunjung ke Perth, saya sempat ketemu sejumlah Guru klas VIII SMP Santa Maria. Mereka tergabung satu team teaching dalam mata pelajaran Society and Environment. Pendekatan yang digunakan authentic learning. Mereka bawa siswanya ke Kings Park, sebuah taman yang menjadi icon wisata di ibu kota Australia Barat.
Anak-anak diminta menggambar apa saja yang dianggap menarik, lalu diminta mendiskripsikan apa yang digambar termasuk alasan mengapa tertarik obyek yang dipilihnya itu. Ada yang menggambar tanaman, juga hewan. Ada yang tertarik melihat kapal pesiar yang tengah melintasi Swan River dari satu spot pemandangan di Kings Park. Ada pula yang menggambar indahnya view kota Perth dilihat dari Kings Park.
Hasilnya menarik dan beraneka ragam. Dari para siswa itu saya sempat melihat goresan tangan yang menggambarkan minat maupun kekayaan imajinasi mereka. Dengan pendekatan pembelajaran autentik, memang, membuat siswa tidak hanya belajar secara abstrak, tetapi belajar lebih nyata, dan kontekstual. Dengan pendekatan pembelajaran autentik, siswa belajar dengan mengalami, sehingga siswa punya pengalaman. Bukankah pengalaman adalah guru yang terbaik?!
Hasilnya menarik dan beraneka ragam. Dari para siswa itu saya sempat melihat goresan tangan yang menggambarkan minat maupun kekayaan imajinasi mereka. Dengan pendekatan pembelajaran autentik, memang, membuat siswa tidak hanya belajar secara abstrak, tetapi belajar lebih nyata, dan kontekstual. Dengan pendekatan pembelajaran autentik, siswa belajar dengan mengalami, sehingga siswa punya pengalaman. Bukankah pengalaman adalah guru yang terbaik?!
LULUS UJIAN YANG MASUK ALAM BAWAH SADAR, BUKAN KOMPETENSI
Saya katakan begini. Disayangkan kalau dalam pendidikan yang dikejar adalah nilai ujian dan bukan kompetensi. Hal itu bisa dimengerti karena rezim unas sangat dominan, menguasai hingga alam bawah sadar guru, siswa, orang tua hingga semua pejabat di negara ini. Tetapi kehidupan membutuhkan kompetensi bukan nilai ujian.
Apalagi ujian yang dilaksanakan banyak menggunakan objective test seperti yang dipakai dalam ujian nasional. Jelas hal itu sangat tidak memadai untuk dapat menghantar siswa menjadi manusia yang berkompeten. Mengapa demikian, karena kompetensi itu merupakan perpaduan tiga hal yaitu kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Menggunakan Taksonomi Bloom , kompetensi merupakan perpaduan antara cara kecerdasan kognitif psikomotorik dan juga afektif. Sedangkan ujian Nasional hanya habis untuk mendorong dan memacu kecerdasan kognitif.
Ujian nasional yang dilaksanakan selama ini lebih banyak diwarnai tradisi behaviorism. Dalam tradisi behaviorism kata Mary James evaluasi prestasi siswa dilakukan dengan melihat level hirarki prestasi, dan menekankan benar atau salah (lihat Gardner, 2006:55). Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam bentuk objective test dengan lebih sering menggunakan sistem tertutup, seperti multiple choice, pencocokan (matching), menyempurnakan (completion) dan salah atau benar (true-or false).
Tetapi saya lebih tertarik dengan apa yang dikatakan oleh Wiggins (1998). System evaluasi akan efektif jika didasarkan pada prinsip-prinsip penilaian autentik (authentic assessement). Penilaian dalam hal ini dilakukan dalam konteks pembelajaran yang nyata. Di dalamnya disusun model evaluasi yang mendorong siswa mampu melakukan konstruk dan rekonstruksi pengetahuan secara autentik, menumbuhkan disiplin mencari (inquiry) informasi, pengetahuan dan nilai-nilai untuk memecahkan masalah. Bukan hanya memecahkan masalah di sekolah tetapi dalam kehidupan nyata di luar sekolah.
Pernyataan saya itu diberi catatan begini. Sistem pembelajaran autentik perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan karena akan lebih mudah diterima oleh siswa dan diterapkan langsung di lapangan.
Tentu saya sangat setuju. Kiranya tepat, kalu sistem pembelajaran autentik lebih dikembangkan dalam sistem pendidikan. Di samping lebih mudah diterima oleh siswa dan diterapkan langsung di lapangan, juga hasilnya efektif.
Namun sayang, guru kita kehilangan kesempatan untuk bereksplorasi dalam model pembelajaran autentik. Guru kita lebih banyak bereksplorasi dalam pembelajaran konservatif, karena cara ini efektif untuk menyiapkan siswa didik berhasil dalam ujian nasional.
PEMBELAJARAN AUTHENTIC DI TENGAH COVID
Bisakah pembelajaran autentik diterapkan di masa pandemic Covid-19 yang pendekatannya lebih banyak menggunakan pembelajaran jarak jauh?
Tentu saja bisa. Tetapi memang memerlukan kreasi untuk bisa memodifikasi. Misalnya guru tetap bekerja dalam team. Desain pembelajarannya dikemas bersama, kemudian disampaikan kepada siswa menggunakan metode daring.
Mengenai objeknya yang harus dipelajari dicari yang ada di rumah. Jadi tidak harus keluar rumah. Model belajarnya juga didesain secara individual sehingga tidak harus dilakukan secara bersama-sama atau berkelompok. Gunakan media by utility dengan memanfaatkan apa yang ada tetapi relevan dengan pokok bahasan dan bisa diperoleh di dalam atau di sekitar rumahnya sendiri. Selanjutnya guru tinggal memonitoring dengan metode daring.
Mengenai evaluasinya dilakukan menggunakan portofolio . Anak-anak bisa diberi kesempatan untuk menggunakan Smartphone guna merekam, memvideo dan mendokumentasikan apa yang sudah dilakukan. Tentu bisa juga memanfaatkan berbagai platform atau aplikasi yang mudah didapat di website untuk upload apa yang dilakukan.
Dengan begitu anak-anak juga bisa semakin fasih menguasai teknologi digital, sekaligus dapat upload dan publikasikan progres pembelajarannya. Dari publikasi mereka, kemudian guru bisa melihat perkembangan pembelajaran melalui portofolio anak-anak didiknya
No comments:
Post a Comment