Oleh: Zainuddin Maliki
Today there was an increase environmental crisis that pose a growing number and intensity of catastrophic events. Environmental crisis, among others, characterized by climate change, the transition of seasons can not be predicted, elevated sea levels, and uncontrolled forest fires. The environmental crisis has led to a variety of critical situations. Not infrequently, then turned into a huge disaster and the rapidly accident. All the factors put the people, systems and structures become dysfunctional. Not just health, and economic prosperity but the survival of a society is threatened.
Today there was an increase environmental crisis that pose a growing number and intensity of catastrophic events. Environmental crisis, among others, characterized by climate change, the transition of seasons can not be predicted, elevated sea levels, and uncontrolled forest fires. The environmental crisis has led to a variety of critical situations. Not infrequently, then turned into a huge disaster and the rapidly accident. All the factors put the people, systems and structures become dysfunctional. Not just health, and economic prosperity but the survival of a society is threatened.
Perlindungan masyarakat dari ancaman bencana
haruslah dilakukan oleh semua pihak, pemerintah, pengusaha maupun masyarakat. Tentu
saja yang paling mendesak adalah menumbuhkan kesadaran dan kemampuan masyarakat
untuk melindungi diri sendiri dari ancaman dan resiko bencana.
Setidak-tidaknya
ada 5 hal yang menyebabkan pentingnya melakukan penguatan masyarakat dalam
melindungi diri sendiri dari bencana.
Pertama,
masyarakat itu sendiri yang menjadi korban dari bencana. Maka yang bergerak
pertama kali merespon bencana adalah masyarakat dan bukan pihak lain. Team
reaksi cepat yang disiapkan pemerintah acapkali datang terlambat. Padahal
masyarakat sudah harus merespon bencana sejak menit-menit pertama. Kita
membutuhkan masyarakat memiliki kemampuan melakukan pengurangan resiko bencana sebelum
bantuan orang lain tiba. Masyarakatlah yang terkena bencana, dan paling awal
harus berbuat. Oleh karena itu masyarakat harus memiliki kemampuan penguasaan
sumber daya, cara dan kekuatan untuk mengurangi tingkat risiko bencana.
Masyarakat harus memiliki cara mempertahankan dan mempersiapkan diri, mencegah,
menanggulangi, meredam, serta dengan cepat memulihkan diri dari akibat bencana.
Kedua,
tidak banyak yang bisa diharapkan dari pemihakan kebijakan pembangunan, karena
kebijakan pembangunan –khususnya industri ekstraktif, sebagaimana digambarkan
di muka acapkali tidak berpihak kepada perlindungan kepentingan dan keselamatan
masyarakat banyak. Kenyataan ini membenarkan pemikiran para penganut Marxian, bahwa
pada akhirnya, yang bisa membela dan melindungi rakyat kecil, adalah rakyat kecil
itu sendiri. Dalam konflik kepentingan antar klas, maka klas pekerja dan wong
cilik harus melindungi diri sendiri. Sulit mengharap kepekaan kalangan
elite, wong gedhe, pemilik modal atau kaum borjuis untuk memperhatikan
kepentingan dan keselamatan rakyat kecil, klas pekerja atau kaum proletar.
Dalam konteks inilah maka menjadi penting dilakukan penguatan masyarakat kecil
agar mereka memiliki kemampuan dan daya
tahan menghadapi krisis lingkungan dan bencana.[1]
Ketiga,
membangun ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana, yang paling efektif
apabila berbasis masyarakat (bottom up approach). Intervensi dari
pemerintah dan pihak lain (top down approach) –sebelum, pada saat
tanggap darurat maupun paska bencana, acapkali a-historis sehingga bisa
menjadi tidak berjalan karena tidak memperhatikan harapan dan konstruk masyarakat
tentang bencana. Banyak pengalaman menunjukkan masyarakat kehilangan
kemandiriannya ketika terlalu banyak program intervensi –apalagi intervensi itu
diwujudkan dalam bentuk program yang bersifat karitatif. Masyarakat tidak bisa
menjadi subyek bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu, kita perlu mendengar
saran kalangan pemikir teori kritis (critical theory) yang menyatakan
bahwa meningkatkan kualitas hidup manusia
–termasuk di dalamnya cara merespon bencana, haruslah dengan cara mengembangkan
dan meningkatkan kesadaran diri (self-consciousness) dan memahami
perkembangan sosial politik yang ada, yang pada muaranya “manusia harus dapat
menjadi subyek dan secara aktif menentukan cara hidupnya sendiri.”[2]
Keempat, paradigma penanggulangan bencana bergeser dari
tanggap darurat kepada pendekatan mitigasi dan preparadness.[3] Dalam
upaya melakukan mitigasi dampak bencana itulah, sangat diperlukan pemahaman
terhadap prinsip-prinsip dinamika yang berubah begitu cepat dalam fenomena
alam. Dalam konteks mitigasi, maka perubahan iklim yang menjadi sebab munculnya
bencana tersebut seharusnya menjadi pusat perhatian.
Kelima, masyarakat selalu memiliki pengetahuannya sendiri (indigenous
knowledge) dan strategi atau cara mereka sendiri (coping strategis) dalam
merespon bencana. Pengetahuan mereka tak jarang jauh lebih bagus dibanding yang
dimiliki ekspert di bidang bencana sekalipun. Dengan pengetahuan dan strategi
mereka sendiri itulah yang menyebabkan mereka survive. Begitu banyak masyarakat
akhirnya bisa bertahan dengan survival strategy –nya sendiri. Itulah
sebabnya Brian Ward, mantan Direktur Asian Disaster Preparadnes Center, sangat apresiatif
terhadap keunggulan petani di Bangladesh, bukan hanya dalam memahami betapa
rentan mereka menghadapi bencana, tetapi juga dalam mengatur strategi merespon
bencana. Brian bahkan berani mengatakan petani di Bangladesh memiliki
pengetahuan lima belas tahun lebih maju dibanding seorang Ph.D.[4]
[1] Baca pemikiran pemihakan terhadap mereka yang lemah dari kalangan pemikir Marxian dalam Zainuddin Maliki, Rekonstruksi Teori Sosial Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012. Mengenai pandangan pemikir Marxian tentang kerusakan lingkungan dan pengasingan masyarakat lokal dan para petani dari tanah ulayatnya sendiri akibat eksploitasi ekonomi kaum kapitalis dapat dibaca dalam John Hannigan, Environmental Sociology, London and New York: Routledge, 1995, hal. 8.
[2] Ibid, hal. 223
[3] Termotivasi dari kehancuran 26
Desember 2004 akibat gempa dan Tsunami Samudra Hindia, paradigma bencana
bergeser dari pengelolaan tanggap bencana (Disaster Response) menjadi
pengurangan resiko bencana (Disaster Risk Reduction), lihat DIBI BNPB-UNDP,
2010.
[4] Survival
strategy warga pinggiran Sungai Jamuna Bangladesh cukup unik. Mereka sudah mencari
shelter sebelum bencana datang. Yang mereka lakukan penduduk tepi sungai Jamuna
itu adalah mengawinkan anaknya dengan keluarga yang berada di daerah aman. Oleh
karena itu ketika terjadi bencana sungai Jamuna mereka sudah punya pilihan
tempat evakuasi. Lihat John Twigg, Disaster Risk Reduction: Mitigation in
the Development and Emergencies Programming, London: Humanitarian Practice
Network ODI, 2004, hal 131-135.
No comments:
Post a Comment