https://search.google.com/search-console/removals?resource_id=https%3A%2F%2Fzetende.blogspot.com%2F

Tuesday, October 15, 2019

LEADERSHIPLESS STATE YANG MUNCUL JIKA DEMOKRASI SERBA BERBAYAR



Oleh: Prof. Dr. Zainuddin Maliki, MSi.

Saya kira Arteria Dahlan berjasa melambungkan nama Edward Aspinall. Profesor dari Departemen Perubahan Sosial dan Politik, Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University ini sekonyong-konyong terkenal di Indonesia. Hal itu berkat Arteria Dahlan yang tampak bersitegang dengan Prof. Emil Salim di salah satu acara televisi yang kemudian menjadi viral.

Andaikata tidak ada peristiwa itu, saya kira apa yang disampaikan Prof. Emil Salim akan terkesan datar-datar saja. Saat itu Prof. Emil menggambarkan pemilu di negeri ini belum bisa melahirkan pemimpin yang kredibel sembari menyebut buku barunya Aspinall yang ditulis dengan Berenschot, Democracy for Sale: Elections, Clientelism and the State in Indonesia (2019).

Pemilihan yang kita jalankan kata Prof. Emil belum tentu kredibel. “Memang betul politisi sekarang ini dipilih, tetapi apa betul dipilih dengan benar. Berapa ongkos yang dikeluarkan. Darimana uang itu didapatkan," cecarnya yang membuat perdebatan dengan Arteria Dahlan itu jadi panas. Sekaligus ketegangan itu memicu orang merasa perlu baca bukunya Aspinall.

Banyak yang penasaran tentang isi buku ini. Dalam bukunya, Aspinall mengurai keanehan dalam demokrasi di negeri ini. Ada jejaring dan berbagai strategi politik yang tak beraturan untuk mengejar kekuasaan dan privilese dalam politik Indonesia kontemporer.  Ada koneksi dan pertukaran yang bercorak personal dan klientalistik.

Aspinall rupanya tidak berani bilang pertukaran itu dilakukan terang-terangan atau kasat mata. Dikatakan semua itu dilakukan di pasar gelap alias terselubung. Semua tingkat dan institusi formal dibayangi praktik pertukaran berdasar relasi klientalisme itu. Mereka yang memenangi pemilu, adalah mereka yang bisa mendistribusikan berbagai projek, memberi uang tunai atau barang kepada para pemilih. Masyarakat pun berharap memperoleh pemberian itu.

Aspinall juga menyediakan jawaban terhadap pertanyaan Prof. Emil Salim tentang darimana uang diperoleh oleh peserta pemilu. Dalam buku ini dilaporkan dana kampanye antara lain diperoleh dengan cara memperjual-belikan kontrak, perizinan dan berbagai manfaat lain kepada para pengusaha. Dari sini terbentuk relasi pelaku ekonomi dengan kekuasaan.

Kalau ada pepatah yang menyatakan, musuh terberat adalah kawan terdekat, begitulah Aspinall memperoleh data. Para peserta pemilu terlibat dalam pertarungan yang tak ada ujungnya dengan politisi saingan mereka, di samping juga dengan birokrat. Mereka berebut kendali berbagai sumber daya negara dalam rangka membiayai kegiatan politiknya.

Peserta pemilu bukan bergantung pada partai. Mereka lebih banyak bergantung pada struktur organisasi yang bersifat sementara dan personal yaitu  tim sukses. Tim ini yang mengelola kampanye mereka. Koneksi personal karena hubungan kekerabatan, pertemanan, jaringan usaha, agama atau pun suku mengalahkan loyalitas pada partai.

Para agen politik digambarkan oleh Aspinall sering melelang jasa mereka kepada penawar tertinggi. Birokrat, dan bukannya partai, yang memegang kendali atas sumber daya negara, merekalah aktor kunci dalam kampanye pemilu (lihat http://obor.or.id/index.phproute=product/product&product_id =860).

Sebagai pelaku dalam pemilu 2019 menjadi calon DPR RI dari PAN  Dapil X Jatim saya merasakan sendiri di lapangan seperti gambaran Aspinall. Nyaris semua tahapan pemilu, mulai dari persiapan, tahapan pengumpulan dan penghitungan suara serba berbiaya. Boleh dikata telah terjadi monetisasi dalam pemilu, notabene salah satu fungsi pemilu adalah sebagai perwujudan system demokrasi.

Beruntung monetisasi itu benar-benar dapat saya hindari selama mengikuti kontestasi pada pemilu 2019. Saya tidak terbawa arus utama monetisasi itu. Banyak yang sangsi dengan apa yang saya lakukan. Tetapi kemudian terkejut ketika melihat hasil penghitungan suara. Ternyata masih ada masyarakat yang memilih berdasarkan politik nilai, dan bukan monetisasi seperti yang ditunjukkan pemilih saya di Gresik dan Lamongan Jatim.

Kendati demikian benar seperti yang dikatakan Aspinall bahwa yang menentukan kemenangan saya adalah struktur organisasi yang bersifat ad hoc yaitu  tim sukses. Tim ini yang mengelola kampanye saya. Namun dengan catatan tebal, bahwa tim bekerja bukan atas dasar monetisasi melainkan dilaksanakan atas dasar spirit voluntaristik.

Hanya saja benar, monetisasi pemilu telah menjelma menjadi arus utama dalam mengakses jabatan politik. Inilah yang dikhawatirkan Prof. Emil Salim, monetisasi bisa menyebabkan pemilu tidak otomatis menghasilkan pemimpin yang kredibel.

Kalau pemilu berongkos mahal tetapi tidak lahir pemimpin kredibel, maka negeri ini terancam mengalami leadershipless - negeri tanpa pemimpin kredibel. Berbahaya jika pemimpin yang muncul yang tidak memiliki integritas dan kapasitas. Akibatnya aset negara tak terurus, yang diurus salah urus. Sementara itu berbagai elemen bangsa terjerumus dalam pertengkaran tak berkesudahan karena tak terkonsolidasi. Tentu keadilan dan kesejahteraan juga tidak akan tumbuh dengan baik.

5 comments:

dr. Sholihul Absor said...

Negeri ini langka negarawan, leader yg atas pengaruhnya menuntun bangsa menuju negeri yg makmur. Yg ada dan banyak adalah pemimpin gerombolan yg pergi tanpa arah, menguras sumber daya di wilayah yg dia lewati......

LKPS said...

Iya dulu negeri ini kok begitu kaya n produktif negarawan ya, let say Kyai Mas Mansyur, Cokroaminoto, Buya Hamka, Bung Karno, Maramis, Ki bagus Hadikusumo, Muhammad Nasir, EZ Muttaqien dll

ppkgarum said...

Lalu apa yang mesti harus kita perbuat kedepan Prof ? agar Bangsa ini memiliki sosok Pemimpin yang bermakna dan berhitmat untuk kemasyalakatan rakyatnya tanpa pandang pilah dan pilih ?

dr. Sholihul Absor said...

Nasib prof.......hehehe

LKPS said...

beri dukungan kpd pemimpin yang baik (benevolent elite) agar mampu melawan oligarki,