https://search.google.com/search-console/removals?resource_id=https%3A%2F%2Fzetende.blogspot.com%2F

Monday, May 25, 2020

GILA KURVA COVID-19 BELUM KUNJUNG TURUN
Pasti ada aspek GILA yang belum optimal


Prof. Dr. Zainuddin Maliki, MSi, Anggota DPR RI Fraksi PAN

Keinginan Presiden Jokowi agar kurva Covid-19 menurun di bulan Mei rupanya belum dapat terpenuhi. Kabar baiknya data pasien sembuh terus bertambah. Tetapi kasus positif dan yang meninggal masih menunjukkan penambahan. Butuh bantuan dan kesadaran semua pihak untuk melandaikan kurva Covid-19.

Juru Bicara Pemerintah untuk COVID-19 Achmad Yurianto, di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Graha BNPB, Senin (25/5/2020) menyebutkan ada sebanyak 240 orang yang sembuh sehingga totalnya menjadi 5.642 orang. Sedangkan yang positif 22.750 setelah ada penambahan 479 orang. Adapun yang meninggal menjadi 1.391 setelah ada tambahan 19 orang.

Tentu saja Presiden Jokowi telah mencoba mengerahkan seluruh elemen. Setidaknya begitulah klaimnya. Bukan hanya jajaran pemerintah, tetapi juga organisasi sosial kemasyarakatan, relawan, parpol, swasta, organisasi masyarakat dan keagamaan untuk melakukan apa saja dengan segala cara. Namun ternyata belum bisa membuat kurva Covid-19 turun akhir Mei 2020.

Padahal partisipasi masyarakat cukup meluas. Hingga pertengahan Mei, Muhammadiyah dan Aisiyah misalnya sudah berdonasi Rp 130 milyar dengan menggerakkan 60.000 relawan. Sementara itu NU juga bergerak dengan program kemanusiaan “NU Care for Humanity”nya.

ASPEK GILA YANG BELUM OPTIMAL
Karena kurva Covid-19 belum turun, maka perlu dilakukan evaluasi. Mengingat elemennya banyak masing-masing harus terintegrasi dalam sebuah system, maka perspektif fungsionalismenya Durkheim bermanfaat untuk memandu evaluasi system penanganan Covid-19 ini.

Menurut fungsionalisme nya Durkheim yang kemudian bangunan teorinya disempurnakan oleh Parsons, sebuah system akan berjalan dengan baik jika prasyarat  yang dibutuhkan yaitu GILA dapat bekerja optimal. GILA yang dimaksud adalah  Goal attainment - tujuan yang hendak dicapai,  Integration - elemen-elemen system yang terintegrasi, Latent maintenance - unsur laten pelestari system dan Adaptation - kemampuan masing-masing elemen system beradaptasi terhadap kondisi di dalam maupun di luar system.

Evaluasi harus dilakukan untuk menemukan elemen GILA mana yang tidak fungsional. Karena bisa jadi ada elemen yang tidak adaptif dan tak terintegrasi. Mungkin juga unsur latent maintenance yang bisa dijadikan penguat system tak termanfaatkan dengan baik. Atau ada elemen yang tidak memahami goal yang sebenarnya hendak dicapai sehingga tak membuahkan kinerja maksimal.

DIKHAWATIRKAN BAD POLICY DIIKUTI BAD EXECUTION
Tentu yang dikhawatirkan tidak kunjung melandainya kurva Covid-19 disebabkan kelemahan bukan hanya pada saat eksekusi tetapi sejak dari pembuatan policy. Bad policy diikuti bad execution, menghasilkan bad result.

Pilihan kebijakan atau policy termasuk latent maintenance yaitu aspek laten yang bisa memelihara kelangsungan system. Oleh karena itu perlu dievaluasi karena boleh jadi memang tidak tepat. Atau mungkin kebijakannya sudah tepat, tetapi pelaksana kebijakannya tidak mampu mengeksekusi sebagaimana yang diharapkan.

Munculnya sejumlah pihak yang belakangan nyaring menyuarakan perlunya reshufle kabinet, seperti dilontarkan juru bicara PSI, Dara Nasution sebagaimana dikutip Rakyat Merdeka, Selasa (19/5/2020) mungkin perlu disimak. Tentu sebenarnya yang diharap adalah kurva Covid-19 yang turun, bukan turunnya isu reshufle kabinet ke tengah publik.

Aneh memang di tengah diperlukan konsentrasi pandemi, yang diluncurkan isu reshufle. Tetapi setidaknya suara ini dapat diartikan sebagai isyarat ada titik lemah di jajaran pembantu Presiden dalam eksekusi kebijakan penanganan Covid-19.

Dalam menghadapi kompleksitas masalah penanganan pandemi corona ini, Presiden tentu saja perlu memiliki pembantu yang responsif. Satu tim kerja yang adaptif dan terintegrasi dalam mencapai target. Tim yang bisa bergerak cepat, tegas dan tepat menghadapi begitu banyak masalah kompleks yang bermunculan setiap saat.

SUMBER KETIDAK PATUHAN MASYARAKAT
Jika melihat dari sisi kebijakan (policy), sulit ditutupi adanya kebijakan penanganan pandemi yang berubah-ubah. Kebijakan seperti ini menimbulkan kebingungan masyarakat. Sebut saja misalnya masyarakat dilarang mudik, tetapi dibuka layanan transportasi.

PSBB terus dilakukan perpanjangan, tetapi tidak ada ketegasan dalam mengeksekusi peraturan. Orang di larang berjamaah di rumah-rumah ibadah, tetapi kerumunan di pasar dibiarkan. Bahkan menyelenggarakan konser diijinkan.

Ketidak tegasan inilah yang kemudian menjadi sumber ketidak patuhan masyarakat. Banyak warga masyarakat yang bertindak semaunya sendiri. Banyak yang tidak mau mematuhi aturan pembatasan berskala besar yang diterapkan pemerintah. Tak urung bermunculan klaster-klaster penyebaran wabah. Angka pasien pun terus bertambah.

Banyaknya pasien yang harus dirawat di rumah-rumah sakit. Rumah Sakit overload. Para tenaga medis tak hanya dibuat lelah tetapi juga frustasi, karena di antara mereka sendiri juga ada yang kemudian jatuh menjadi korban. Rasa frustasinya lalu dituangkan kedalam tagar #Indonesia Terserah. Tak pelak tagar ini jadi viral di media sosial.

FOKUS KESEHATAN BARU PEMULIHAN EKONOMI
Dalam kaitannya dengan rumusan tujuan (goal attainment) dalam penanganan Covid-19 ini ada baiknya mendengarkan kritik mantan Wapres Jusuf Kalla. JK menilai langkah pemerintah mengatasi corona kurang tepat, karena lebih mempertimbangkan pemulihan ekonomi ketimbang prioritas kesehatan. Seharusnya menurut JK pemerintah fokuskan energinya untuk menekan virus corona dulu sampai kurva kasus positifnya menurun. Jika kurvanya sudah melandai baru kemudian beralih ke pemulihan ekonomi.

"Prioritas pertama menyelesaikan virusnya. Menahan, mengurangi, mematikan, karena inilah sebabnya," ungkap JK dalam diskusi webinar bertajuk "Segitiga Virus Corona" Universitas Indonesia, Selasa (19/5) seperti dikutip Kumparan (20/5).

Presiden telah meminta dari aspek kesehatan, turunkan kurva Covid-19 akhir Mei 2020, dengan segala daya. Goal ini belum bisa terpenuhi. Mungkin tak sepenuhnya difahami oleh para pembantunya. Oleh karena itu guna menekan kurva Covid-19, Presiden membutuhkan pembantu yang mampu memahami goal yang sebenarnya hendak dicapai.

DUA PILIHAN JALAN KELUAR
Pilihan jalan keluarnya ada dua. Pertama, memaksimalkan para pembantunya yang ada di kabinet sekarang dengan asumsi mereka masih bisa didorong untuk kerja lebih keras. Kedua mereshufle hingga diyakini bisa dimunculkan tim kerja yang lebih responsif.

Oleh karena itu terpulang kepada Presiden. Mengkonsolidasikan kabinet yang ada atau mereshufle, hal itu merupakan hak prerogatif Presiden. Namun yang penting dicatat, bukan hanya Presiden, tetapi seluruh rakyat Indonesia ingin Covid-19 kurvanya segera turun dan bahkan angkat kaki dari negeri ini.

2 comments:

Unknown said...

Prof, tabe, saya dari Kota Palu, pernah ketemu Pof Zainuddin di Unair, lg menguji teman di Pasca Sarjana jurusan PSDM. terkait konsep GILA, bukankah konsep tsb yg kemukakan Talcott Parson? semoga Prof bisa memberrikan pencerahan, tulisan2 Prof selalu menarik diperhatikan.

LKPS said...

Iya Parson se tapi dia penerus fungsionalismenya Durkheim...