https://search.google.com/search-console/removals?resource_id=https%3A%2F%2Fzetende.blogspot.com%2F

Thursday, May 24, 2018

ORANG MENGIRA RADIKALISME ITU MONOPOLI ORANG MISKIN


Radikalisme Kelompok Ekonomi Berkecukupan (Affluent-class)

Fundamentalisme kelompok ekonomi pas-pasan (subsistensi) sebagai reaksi terhadap deprivasi ekonomi —dan kemudian memilih jalan kekerasan seperti merakit bom atom bom bunuh diri dalam penyelesaian masalah— tentu meresahkan. Tetapi sebenarnya ada yang tidak kalah berbahaya yaitu kekerasan yang dilakukan oleh kelompok affluent —kelompok berkecukupan yang justru tengah berjuang untuk melestarikan kondisi kelimpahan ekonomi mereka.

Dalam rangka menjaga kelangsungan ekonomi affluent mereka, kelompok ini terus berekspansi. Sedapat mungkin seluruh ruang kehidupan di permukaan bumi ini harus berada dalam kontrol mereka dengan mengerahkan seluruh kekuatan, meminjam bahasa Kenichi Ohmae, melibatkan empat “I” —investasi, industri, individu, dan informasi (Kenichi Ohmae, Hancurnya Negara-Bangsa: Bangkitnya Negara Kawasan dan Geliat Ekonomi Regional di Dunia Tak Terbatas, Yogyakarta: Qalam, 2002).

Sebenarnya kalau saja Ohmae jujur, tidak hanya empat “I”, tetapi sebagaimana belakangan semakin terlihat menyolok, kelompok “affluent fundamentalis” atau “fundamentalis berkelimpahan,” tersebut melengkapi alat ekspansi mereka dengan alat-alat represif, terutama kekuasaan, lembaga peradilan dan militer.

Bukan mustahil dengan pendekatan konspiratif mereka memanfaatkan kelompok terdeprivasi dan terpinggirkan yang umumnya mudah terbakar, direkrut untuk menjadi bagian dari gerakan radikal yang kemudian melakukan berbagai tindakan kekerasan, termasuk direkrut jadi pengantin untuk melakukan bom bunuh diri (suicide bombings).

Demokrasi sebagai instrumen yang dianggap telah final, ternyata tak sanggup menghentikan penjarahan, bukan yang dilakukan oleh “fundamentalis agama”, tetapi dilakukan oleh kaum “fundamentalis berkelimpahan”. Justru atas nama demokrasi, “fundamentalis berkelimpahan” ini memilih jalan kekerasan dengan menyatakan perang dengan menangkapi terhadap siapa saja yang dianggap menghalang-halangi kepentingan ekspansi modal, produksi dan pasar ekonomi. Penangkapan dilakukan dengan alasan melakukan makar, mengancam NKRI atau Bhineka Tunggal Ika, atau bisa jadi dilakukan dengan alasan mau mengganti ideology Pancasila.

Pengakuan Perkins, dapat dijadikan acuan mengenai cara- cara kelompok affluent memenuhi kepentingan ekonomi mereka dengan melakukan berbagai cara, seperti kecurangan dalam laporan keuangan, melakukan pemilu curang, pemerasan, termasuk ancaman, teror, kekerasan dan bahkan kudeta (John Perkins, The Confession of an Economic Hit Man, New York: Berret-Koehler Pub, 2005).

Walhasil, agama tetap menjadi alat yang paling efektif untuk membangun dan mengokohkan ideologi sebuah gerakan perubahan, termasuk gerakan yang memilih cara radikal yang erat dengan kekerasan. Namun, hal itu tidak bisa begitu saja dibaca sebagai akibat dari pesan dasar ajaran agama itu sendiri.

Di lain fihak karena desakan dinamika dan sistem sosial ekonomi dan politik di sekitarnya yang eksploitatif. Itulah sebabnya, radikalisme bisa dilakukan siapa saja. Mereka yang terpinggirkan secara ekonomi maupun mereka yang berkelimpahan. Masing-masing bisa saja menggunakan agama dengan berbagai simbolnya untuk menopang gerakan yang mereka pilih, dalam hal ini radikalisme.

Bagi mereka yang mengalami subsistensi, agama dan simbol-simbolnya digunakan untuk menjustifikasi kekerasan yang dilakukan. Demikian juga agama dan simbol-simbolnya digunakan mereka yang menikmati posisi affluent untuk menjustifikasi kekerasan yang ia gunakan untuk mengamankan keberlimpahan hidupnya. Namun yang pasti, sejarah kekerasan lebih banyak melahirkan trauma dan kekerasan baru, ketimbang menjadi sebuah solusi.
google.com, pub-8753603595595254, DIRECT, f08c47fec0942fa0

No comments: