Environment Degradation Lead to Disaster
BENCANA SEBAGAI AKIBAT DEGRADASI LINGKUNGAN
BENCANA SEBAGAI AKIBAT DEGRADASI LINGKUNGAN
Zainuddin Maliki
There
are disasters that arise
as a result of the policies in the extractive industries that ignore the disaster risk reduction in the
national development plan. Development policy,
especially in forestry, mining and other extraction industries was revealed as
the cause of ecological destruction in Indonesia. The environments crisis
not only causes a variety of disasters, but also lead to the community to be vulnerable due to loss of various
sources of environmental
degradation and disaster prevention. It can be understood
if the public was not quite get the guarantee of protection from the catastrophes.
Krisis lingkungan belakangan
kian parah. Krisis itu tidak hanya berpotensi menimbulkan peningkatan jumlah kejadian tetapi juga meningkatkan intensitas bencana.
Krisis lingkungan tersebut dapat dilihat pada gejala perubahan iklim dan peralihan musim
yang tidak dapat diprediksi. Meningginya permukaan air laut di satu pihak, dan kebakaran
hutan yang tidak terkendali di lain pihak merupakan petunjuk yang nyata dari terjadinya krisis lingkungan yang kian mencemaskan.
Krisis lingkungan telah menimbulkan berbagai
keadaan kritis. Tak jarang kemudian berubah menjadi bencana yang begitu besar
dan terjadinya begitu cepat. Kesemua itu
menempatkan manusia, sistem dan struktur kehidupan menjadi tidak berfungsi. Bukan
hanya kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi tetapi keberlangsungan hidup suatu
masyarakat menjadi terancam.[1]
Salah
satu bencana yang besar terjadi di Indonesia, yaitu gelombang Tsunami yang
dipicu oleh gempabumi di Aceh 26 Desember 2004 dengan menyebarkan kematian dan
kehancuran yang tiada preseden sebelumnya. Krisis lingkungan juga memicu
munculnya bencana puting beliung Katrina di padang pasir Mexico bulan Agustus
2005 membuat New Orleans menjadi kota mati. Belakangan bencana banjir melanda
Pakistan akibat hujan ekstrim pada bulan Juli/Agustus 2010. Tentu saja
gelombang Tsunami di Jepang 11 Maret 2011 akibat gempa berkekuatan 8,9 Skala
Richter yang menelan ribuan korban meninggal terutama di Fukushima, Miyage dan
Iwate berakar dari ketidak seimbangan lingkungan, dalam hal ini dinamika laut
dan atmosfir sebagai dampak dari rotasi bumi.
Pada
umumnya bencana adalah akibat ulah manusia. Pembalakan liar (illegal
logging) dan pembukaan lahan, termasuk industri ekstraktif yang tak
terkendali di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, telah mengakibatkan tanah
longsor, kemarau, dan banjir. Kondisi DAS di Indonesia
banyak yang semakin kritis. Debit air di sungai-sungai itu terdegradasi. Tidak
kurang dari 52 sungai yang tersebar di Indonesia mulai dari Sabang sampai
Merauke konon memiliki debet yang berpotensi menimbulkan bencana kekeringan di
musim kemarau dan banjir di musim hujan. Pendek kata alam
yang ramah itu kemudian menjadi marah dan bahkan murka, yang bukan hanya
mengancam dunia bisnis dan industri namun lebih dari itu mengancam keselamatan
manusia.
Krisis
lingkungan yang dihadapi Indonesia salah satu penyebabnya adalah praktik tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut yang
tidak responsif dalam pelestarian lingkungan dan pengurangan resiko bencana. Pengusahaan
hutan dengan model tebang habis (land clearing) menjadi pangkal
penyebab berkurangnya luas hutan dan berbuntut terjadinya krisis lingkungan dan
tak ayal kemudian melahirkan bencana seperti kekeringan dan kebakaran hutan. Indonesia
tengah menghadapi krisis keberadaan hutan alam dan terancam oleh munculnya
bencana ekologis akibat terdegradasinya hutan hujan tersebut.[2]
Peta
zonasi ancaman bencana kekeringan di Indonesia bisa dilihat dalam gambar yang
dikeluarkan BNPB berikut:
Kerusakan lingkungan
akibat industri perkebunan, bisa dilihat pada proyek minyak sawit di Kalimantan
Tengah. Proyek satu juta hektar lahan gambut yang 50 persen dikuasai perusahaan
asing ini ini mengalami kegagalan (1996). Kegagalan serupa juga terjadi di proyek
1,2 juta hektar Proyek Lumbung Pangan dan Energi Terpadu Merauke,
atau Merauke
Integrated Food and Energy Estate
(MIFEE) di Papua (2011).[3]
Baik MIFEE di Kalteng
maupun yang di Papua, kedua proyek ambisius ini hanya menyisakan konflik dan
kerusakan lingkungan. Gagal di Kalteng dan Papua, Proyek Food Estate di Papua
(MIFEE) yang berpola top down ini di alihkan pemerintah ke Kalimantan
Timur. Tidak ada partisipasi rakyat. Kesempatan untuk bisa memanfaatkan
kekayaan alam di tempat di mana mereka hidup semakin sulit. Amanat untuk
mempertahankan kedaulatan bangsa juga terancam tidak bisa diwujudkan, karena
pengelolaan asset nasional jatuh ke pihak swasta asing. Ironinya dalam
menjalankan operasinya, perusaan-perusahaan itu nyaris tidak memiliki komitmen untuk
turut menjaga keseimbangan lingkungan dan apalagi mewujudkan prinsip sustainable
development.[4]
Bukan
hanya ancaman kekeringan, tetapi Indonesia juga rawan banjir. Kini terdapat
tidak kurang dari 497 kabupaten/kota di Indonesia 176 diantaranya rentan
terhadap banjir. 154 kabupaten/kota berisiko tinggi longsor, dan 153 lainnya
terancam kekeringan. Selama tahun 2011,
telah terjadi bencana sebanyak 895 kali. Sementara kerugian akibat
bencana tahun ini ditaksir lebih dari Rp 45 triliun dari seluruh kerugian
bencana yang terjadi pada tahun 2011. Sebagian besar banjir bandang yang
terjadi tersebut di atas disebabkan karena rusaknya kawasan hulu akibat
kebijakan industri ekstratif di sektor kehutanan.[5]
Peta
zonasi ancaman bencana banjir di Indonesia bisa dilihat dalam gambar yang
dikeluarkan BNPB berikut:
Jadi begitu banyak bencana yang
timbul sebagai akibat dari kebijakan di wilayah industri ekstraktif yang kurang
mengindahkan perencanaan strategis pembangunan nasional berwawasan lingkunan
dan pengurangan resiko bencana. Kebijakan pembangunan terutama di sektor
kehutanan, pertambangan dan industri ekstraksi lainnya justru diketahui sebagai
penyebab kehancuran ekologis di Indonesia. Tidak kurang dari 80% kawasan di Indonesia rawan bencana
ekologis.
Krisis lingkungan bukan
hanya menyebabkan terjadinya berbagai macam bencana, tetapi juga mengakibatkan
masyarakat menjadi rentan karena kehilangan berbagai sumber pencegahan dan
perlindungan dari ancaman bencana. Untuk bisa mewujudkan
masyarakat yang tangguh bencana, yang ditandai dengan kemampuan mencegah,
meredam, mencapai kesiapan menanggapi dampak buruk bencana, masyarakat memerlukan modal geologis,
biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik,
ekonomi, dan teknologi. Namun di tengah proses degradasi lingkungan seperti
digambarkan di muka, maka dapat difahami jika masyarakat sesungguhnya tidak
cukup mendapatkan jaminan perlindungan dari ancaman bencana.
[1] Sebuah
organisasi lingkungan yang bermarkas di Swiss World Wide Fund (WWF)
mengumumkan 10 Sungai Besar di Dunia
Berada dalam Bahaya karena mengering sehingga tidak bisa diharap memasok
kebutuhan air bersih dalam jumlah yang cukup. Hal itu terjadi karena kegiatan
industri ekstraktif yang tidak pro perlindungan persediaan air, pengambilan air
berlebihan, polusi dan perubahan iklim. Sungai yang masuk dalam daftar itu
antara lain Yangtze, Mekong, Salween, Gangga, dan Indus. Sungai Danube di Eropa
termasuk di dalamnya bersama dengan La Plata dan Rio Grande di Amerika, Sungai
Nil di Afrika, dan Sungai Murray-Darling di Australia. Data dikutip dari http://www.antaranews.com/view/?i=1174398745&c=WBM&s=. Lihat
juga Satelite Journey 19 Maret 2007,
http://santolita.blogspot.com/2007/03/bahaya-kekeringan.html.
[2] Proyek
perkebunan sawit dan lahan gambut yang lebih 50 persen jatuh di pihak asing,
sulit diharap komitmennya untuk membangun pelestarian lingkungan. Akibatnya
kebakaran hutan di Indonesia berkembang menjadi sangat mencemaskan. Titik api
paling banyak dijumpai di Kalimantan Barat. Menurut Kementerian Kehutanan, dari
periode 2007-2011 dijumpai tidak kurang 10 ribu titik api di Kalbar (Lihat Jawa
pos, 21/05/2012). Tahun 1990-an Rawa Tripa, Nagan Raya, Aceh masih memiliki
hutan rawa gambut 62.000 hektar, yang berarti terluas di Sumatera. Tahun 2000,
35 persen hutan rawa gambut tersebut hancur. Pencitraan satelit memperlihatkan
hutan yang ada tinggal 11.504,3 hektar (Kompas, 25 Mei 2012).
[3]
MIFEE sebuah rencana perubahan peruntukan sejumlah besar lahan, termasuk hutan,
untuk dijadikan perkebunan untuk tanaman pangan, energi dan tanaman produktif
lainnya. Proyek ini melibatkan 10 BUMN dan 37 perusahaan swasta, termasuk
perusahaan asing. Luas areanya berkisar setengah juta hingga 2,5 juta hektare
atau lebih. Proyek ini dirancang sebagai upaya untuk mendorong keamanan pangan
Indonesia. Keterlibatan perusahaan asing mengindikasikan proyek ini menekankan
kepada pasar ekspor. Tak pelak, mega proyek ini lalu menimbulkan resistensi
terutama dari masyarakat setempat, kelompok gereja, dan organisasi masyarakat
sipil. Sejumlah kelompok lokal, yang didukung Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN), menolak keras proyek tersebut (Lihat Buletin DTE Edisi Khusus,
No. 89-90, November 2011).
[4] Lihat laporan
mengenai hal ini di http://pmeindonesia.com/berita-tambang/313-catatan-akhir-tahun-walhi-2011-krisis-pengelolaan-lingkungan-menyemai-konflik-menabur-bencana.
[5] Walhi
merelease data sepanjang Februari hingga akhir 2011 tidak kurang 378 kejadian
banjir melanda sejumlah kota di Indonesia. Angka ini meningkat sekitar 11 %
dari 2010 yakni 345 kejadian. Banjir melanda 25 provinsi meliputi di Pulau
Sumatera mulai Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau,
Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu. Sedangkan di Kalimantan meliputi Kalimantan
Barat, Kalimanatan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi
Utara, Sulawesi Selatan, Bali, Sulawei Tengah, Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur, Papua Barat dan Maluku Utara. Pulau Jawa meliputi Banten,
Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur. Dari total
banjir yang terjadi di 25 provinsi tersebut, 12 diantaranya merupakan banjir
bandang telah menyebabkan 48 orang meninggal dunia. Ibid.
No comments:
Post a Comment