Mushaf Alquran kuno ditulis Abd. Latief Sumenep (1793) tersimpan dengan baik di British Library, London (foto: ZM) |
Zainuddin Maliki
This paper was about to see how
Islam developed civil
society as Keane presupposes that in the national
life should built a state of freedom
of association and express cultural identity, protected from the practice of violence, free
self-reflexive, interacting
with each other, framing and giving reinforcement is
included in the interaction with the state. Islam is meant here is, as expressed by
its followers, by taking the case of the experience of Islam in Indonesia.
In this case will be seen how the Muslims in Indonesia to build
and develop their
political identity in the political order was
changing.
Pendahuluan
Bersamaan dengan memasuki
milenium ketiga, bangsa Indonesia memasuki system politik baru. System politik corporatic dan bureaucratic authoritarian ditinggalkan dan mencoba
memasuki system politik baru yang
bercorak pluralistic. Dalam system politik corporatic
dan bureaucratic authoritarian, tidak ada arena publik yang bisa
digunakan bagi masyarakat untuk melakukan partisipasi politik. Ruang publik,
sepenuhnya di kendalikan oleh rejim berkuasa. Pengalaman Indonesia dikendalikan rezim korporatis kehidupan ekonomi politik di kontrol oleh triumvirate, lembaga kepresidenan, militer dan para konglomerat.
Dalam formasi politik seperti itu yang terjadi adalah lembaga kepresidenan
yang powerful di satu pihak, di lain fihak muncul kabinet yang tersubordinatif,
parlemen yang powerless, dan lembaga peradilan yang tidak independen.[1]
Sebaliknya, tidak ada ruang bagi masyarakat untuk
membangun kekuatan civil society, kekuatan yang dibangun atas dasar inisiatif
masyarakat yang independen, berkesadaran politik rasional dan kritis, tahu
masalah yang dihadapi dan cara mencari pemecahannya. Negara pada saat itu
melakukan kontrol yang ketat terhadap seluruh aktifitas masyarakat. Bukan hanya
dalam membangun kekuatan politik, bahkan sampai dengan jenis pupuk dan bibit
mana yang harus ditanam oleh petani ditentukan oleh pemerintah pusat.[2]
Kekuatan civil society
diperlukan untuk menopang sistem politik demokratis. Kendati istilah civil
society memiliki makna yang sangat luas dan bahkan beragam. Ada yang menyatakan
istilah ini menunjukkan merosotnya despotisme, dan rezim welfare state.
Sebaliknya, naiknya pamor neoliberalisme. Namun, dalam bukunya, Civil society: Old images, New Visions, John Keane mengutip ideal type Weber, menyatakan bahwa civil society mengandaikan
sebuah bentuk kehidupan berbangsa bernegara di dalamnya dibangun suatu
perlindungan yang legal bagi tumbuhnya masyarakat yang terjamin kebebasan
berorganisasi, terlindungi dari praktik kekerasan, bebas melakukan self-reflexive,
satu sama lain saling berinteraksi, membingkai dan memberi penguatan termasuk
dalam berinteraksi dengan negara. Dijamin di dalamnya masyarakat memiliki
kebebasan mengekspresikan identitas budaya, ekonomi maupun politik mereka.[3]
Dalam pengertian civil
society seperti digambarkan oleh Keane itulah tulisan ini hendak melihat
bagaimana Islam mengembangkan civil society. Islam yang dimaksud di sini adalah
sebagaimana yang diekspresikan oleh pemeluknya, dengan mengambil kasus
pengalaman Islam di Indonesia. Dalam hal ini akan dilihat bagaimana umat Islam
di Indonesia membangun identitas politik mereka dan mengembangkannya dalam
tatanan politik yang tengah berubah.
Political Turbulence dan Predatory Democracy
Ruang publik yang terbuka paska reformasi, adalah
peluang untuk membangun kekuatan civil society. Masyarakat memiliki kebebasan
untuk mengekspresikan pendapat, aspirasi dan kepentingannya. Namun, peluang itu
tidak serta merta dapat dijadikan sebagai peluang poositif. Sebuah kenyataan
pahit, bahwa dalam Negara yang memulai melakukan reformasi saat itu, di mana mainstream
umat Islam lalu berada di dalam kekuasaan, bahkan sempat mengendalikan
menjadi sebuah rejim bureaucratic hierocracy[4] ternyata tidak otomatis menghasilkan pemerintahan
efektif, dan sebaliknya justru diikuti dengan krisis yang berkelanjutan. Bangsa Indonesia sejak reformasi terus menerus menjumpai begitu
banyak gangguan tertib sosial, berupa konflik dan bahkan perang saudara —perang
antar agama Islam-Kristen di Ambon, antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah, pertumpahan
darah di tanah Aceh, berbagai macam kerusuhan, pembakaran, pengeboman, teror
dan praktek kriminalitas di berbagai tempat yang eskalasinya cenderung terus
meningkat.
Keadaan semakin memburuk ketika tidak ada kekuatan efektif yang
dapat menghentikan segala macam bentuk anarkisme tersebut. Elite politik,
terkesan tidak melakukan langkah-langkah yang mengarah kepada pemecahan
masalah, bahkan yang terjadi kemudian justru konflik di tingkat elite politik
yang tidak mudah diselesaikan. Dalam hal ini, elite politik di parlemen berhadapan dengan elite politik di
pemerintahan khususnya Presiden. Bangsa Indonesia lalu benar-benar dihadapkan
kepada krisis sosial (social disruption),
ditandai dengan ancaman disintegrasi, kriminalitas, teror, tindak kekerasan
—baik individual maupun kelompok— yang dipicu sentimen kepentingan ekonomi,
politik, etnis dan bahkan juga sentimen keagamaan.
Francis Fukuyama menyatakan bahwa dalam rangka membangun kehidupan
bersama, tidak saja membutuhkan modal fisik seperti tanah bangunan, mesin, maupun
modal sumberdaya manusia seperti skill dan pengetahuan, melainkan juga membutuhkan
apa yang disebutnya dengan modal sosial. Fukuyama menyatakan: Social capital can be defined simply as a
set of informal values or norms shared among members of group that permits
cooperation among them. If a membesr of the group come to expect that others
will behave reliably and honestly, then they will come to "trust" one
another. Trust is like a lubricant
that makes the running of any group or organization more efficient.[5]
Jadi bangsa ini memerlukan modal sosial, terutama trust atau kepercayaan untuk dijadikan
landasan terbentuknya sebuah nation state yang di dalamnya setiap warga dapat bersikap
jujur, dapat dipercaya satu dihadapan yang lain. Namun sayang, agaknya justru
modal sosial, trust, sesuatu yang
amat kita butuhkan kini sedang merosot tajam mengarah kepada titik nadir.
Masyarakat kita termasuk yang berada pada lapisan elite politik, nampak miskin
hati, rakus kekuasaan dan tidak memiliki rasa empati kepada rakyatnya.[6]
Berbagai kekuatan reaksioner yang dipicu oleh semangat kelompok,
etnis, keagamaan bukan hanya memunculkan saling curiga, tetapi sudah saling
berusaha memusnahkan. Mereka siap dengan segala macam alat-alat pemusnah mulai
dari senjata tajam, ilmu kekebalan, bom rakitan hingga institusi-institusi
pemusnah dalam bentuk para-militer yang
berafiliasi dengan kekuatan politik maupun kelompok kepentingan tertentu.[7] Kesemua itu disiapkan untuk menghadapi
kemungkinan datangnya ancaman dari kelompok lawan maupun kelompok beda
kepentingan. Situasi seolah mengubah karakteristik bangsa Indonesia, yang
sebelumnya selalu mengklaim diri sebagai bangsa terhormat, ramah dan santun,
tiba-tiba kemudian lebih menggambarkan apa yang disebut Thomas Hobbes, man's natural state is the war of
"every one against every one."[8]
Muis meminjam istilah Barrington Moore JR (1973)
menggambarkan kini Indonesia menghadapi benturan antara kekuatan reaksioner,
revolusioner dan reformis dengan semangat saling menghancurkan sehingga
melahirkan demokrasi predator (predatory
democracy). Menurut Moore, sebagaimana dikutip
Muis, predatory democracy ditandai
dengan ciri-ciri bloody chaos and
collapse of national authority to the point where human life mainly a war of
all against all with tiny islands of law and
order under the control of strong men waging vendettas against each other.[9]
Karakteristik Masyarakat
Subordinasi
Civil Society memerlukan masyarakat yang
independen. Mereka tidak bergantung kepada pihak lain. Jika demikian halnya,
jika ingin melihat penguatan civil society dari perspektif Islam, maka timbul
pertanyaan. Apakah ummat Islam di Indonesia memiliki karakteristik mandiri,
tidak berkecenderungan bergantung kepada pihak lain, sehingga bisa membangun
kultur civil society yang kuat? Guna menjawab pertanyaan ini perlu dilihat
dinamika kehidupan umat Islam, notabene mayoritas penduduk Indonesia ini dari
sisi ekonomi, kultural maupun politik.
Dalam konteks Indonesia umat Islam atau Muslim secara umum merupakan representasi ’wong cilik’, komunitas yang lemah dan
terpinggirkan dari berbagai lapangan kehidupan.[10]
Komunitas ini pada umumnya berada dalam strata sosial menengah ke bawah,
tersubordinasi oleh kekuatan superordinat yang menguasai sumber-sumber
eksistensial politik maupun ekonomi. Tentu dengan pengecualian bagi sedikit
mereka yang survive atau mereka yang belakangan berhasil melakukan mobilitas
sosial –sebagai implikasi dari era keterbukaan dan demokratisasi.
Periferalisasi komunitas Muslim itu
berjalan cukup lama. Sejak
zaman raja-raja Jawa, komunitas Muslim berada di luar kraton.
Mereka teralienasi secara ekonomi dan politik, melalui proses vasal atau penundukan dan overlord atau pertuanan. Pada masa
feodal, komunitas Muslim menempati posisi kawulo
yang dikenal sebagai lapisan yang menjadi obyek sistem ekonomi upeti yang
diterapkan oleh raja-raja agraris di Jawa. Ketika kolonialisme mengintrodusir formasi
sosial kapitalis, posisi komunitas Muslim bergeser menjadi wong cilik.[11]
Gambaran komunitas tersubordinasi itu berlangsung
hingga Indonesia modern. Hal itu bisa dilihat misalnya di dalam birokrasi.
Hingga beberapa dekade setelah Indonesia merdeka komunitas Muslim pada umumnya mengisi jabatan rendahan atau
yang dikenal sebagai wong ndhek-ndhekan. Sedikit
saja mereka yang berhasil meraih posisi dan memegang jabatan strategis atau
menjadi wong ndhuwuran. Banyak
jabatan strategis di dalam birokrasi pusat dan daerah diisi oleh mereka yang
memiliki social origin dari lapisan
priyayi atau ambtenaar. Lapisan
tersebut terakhir tampak masih ingin
menerapkan praktik birokrasi patrimonial dengan menerapkan pola hubungan kawulo-gusti –meski dengan model baru.[12]
Kalau melihat aktifitas ekonomi pasar, kita akan
menemukan catatan komunitas Muslim terutama bergerak melalui mode ekonomi bazar,
industri rumah tangga dan sistem mbakul,
mode atau sistem ekonomi yang belakang terus terdesak oleh ekspansi modal dari
kekuatan ekonomi manufaktur yang tak terbendung. Di sektor industri hampir
tidak lagi terdengar eksponen dari komunitas Muslim seperti yang pernah ada pada masa
embrional konsolidasi negeri ini. Pada masa itu sempat muncul klas borjuis
pribumi yang social origin-nya Muslim
atau kaum santri melalui kegiatan perdagangan, industri rokok dan tekstil. Mereka
melakukan gerakan sosial ekonomi dan menjadi pilar bagi pertumbuhan kota,
terutama di sepanjang kawasan pantai utara Jawa. Mereka bergabung dengan SDI, organisasi
yang berorientasi pada kegiatan sosial ekonomi yang didirikan Haji Samanhudi
pada tahun 1911 –dikemudian hari mereka menjadi pendukung utama dari SI,
organisasi yang berorientasi ekonomi dan politik yang didirikan pada 10
september 1912.[13]
Kesehatan
merupakan bagian dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Di sektor kesehatan ini
umat Islam umumnya menghuni daerah-daerah kumuh yang
rawan penyakit menular. Tentu tidak boleh diingkari kalau selama ini sebenarnya
juga terjadi mobilitas vertikal. Semakin banyak saja mereka yang bisa keluar
dari jeratan daerah-daerah berpenyakit. Kendati demikian, besarnya kawasan kumuh
dan masih lebarnya kesenjangan sosial, mengindikasikan betapa besarnya umat
Islam yang belum mampu memenuhi harapan hidup dengan standar kesehatan yang
baik.
Komunitas Muslim pada umumnya menghuni daerah-daerah
tradisional, kawasan slum,
hinterland, atau pedalaman. Kawasan-kawasan itu tidak memiliki sarana dan
prasarana atau infrastruktur yang memadai. Pemerintah tidak cukup memiliki
perhatian baik karena alasan anggaran pusat dan daerah yang kecil, maupun
karena alasan kesempatan. Ketiadaan kemauan politik yang bersungguh-sungguh
untuk memikirkan infrastruktur yang dibutuhkan dalam rangka menopang pemenuhan
kepentingan eksistensial kaum pinggiran juga merupakan kendala utama bagi
mobilitas komunitas tersubordinasi ini.
Meminjam istilah Anderson,[14]
pemerintah menerapkan strategi bola lampu pijar dalam menetapkan alokasi dan
distribusi sumber-sumber pembangunan. Sumber-sumber itu dikucurkan ke
daerah-daerah strategis di pusat-pusat kota atas nama pertumbuhan ekonomi.
Implikasinya sumber-sumber pembangunan itu tidak lagi cukup tersisa untuk
memikirkan daerah-daerah suburban dan apalagi pedalaman, daerah tempat tinggal
mayoritas Muslim. Akibatnya pertumbuhan berkembang di
pusat kota yang kemudian menjadi pull
factor bagi terjadinya gelombang urbanisasi dengan berbagai persoalan yang
ditimbulkannya.
Sementara itu di lapangan pendidikan, sedikit saja
yang bisa menikmati fasilitas yang bagus. Meski harus dicatat pula bahwa
sebagian komunitas Muslim telah berhasil mengintrodusir institusi
pendidikan yang modern. Namun, performance yang dicapai masih jauh tertinggal
jika dibandingkan dengan yang dicapai komunitas lain. Komunitas Muslim
lalu dikenal sebagai penyedia sumberdaya manusia dalam jumlah cukup banyak
tetapi dengan kompetensi dan tingkat life
skill yang rendah. Oleh karena itu komunitas ini menjadi sumber rekrutmen
tenaga kerja dengan upah rendah –di tengah negeri yang memiliki bahan mentah
yang melimpah.
Lebih menyedihkan lagi, meminjam istilah komunitas ini erat dengan the roots of violence in Indonesia[15]. Pasalnya daerah-daerah yang menjadi lokus atau ajang konflik
berdarah-darah seperti Banyuwangi, Situbondo, Pasuruan, Bulak Banteng –Surabaya, Tanjung Priok, Haor Koneng, Tasikmalaya, Lampung, Aceh, Maluku, Ambon, Sampit sekaligus merupakan daerah eksistensial mayoritas muslim.
Daerah konflik dan kekerasan itu selama ini dijadikan sebagai alat penetapan ’politically and economically country
risks’. Kalangan pengusaha menjadikan kawasan tersebut sebagai based of the economic rationality atau dasar menentukan upaya mengulur atau menarik
aktifitas bisnis, investasi dan industri mereka.
Tanpa peduli dengan konfigurasi sosial yang timpang, posisi seperti
digambarkan di muka lalu memunculkan stigmatisasi umat Islam. Kekerasan lalu dianggap sebagai
bahasa, sistem pengetahuan bahkan telah dianggap sebagai identitas umat Islam.
Sejumlah pihak, termasuk beberapa media masa asing suka membuat synonim antara
Muslim dengan berbagai bentuk
kekerasan.[16] Mereka tidak lagi memahami bahwa identitas, bahasa dan sistem
pengetahuan tidak bisa dilipaskan dari konfigurasi sebuah tatanan masyarakat.
Bahkan Mannheim menyatakan bahwa pengetahuan seseorang hanya bisa dipahami
melalui konfigurasi sosial di mana ia hidup.[17] Dengan demikian seharusnya kekerasan tidak
dilihat semata sebagai identitas, melainkan lebih merupakan sebagai akibat
konfigurasi sosial yang eksploitatif.
Bahasa kekerasan tidak akan muncul dalam konfigurasi sosial yang adil
dan demokratis.
Proses Subordinasi
Periferalisasi komunitas tersubordinasi atau mustadh’afin –memang tidak bisa di ingkari, ada faktor subyektif
yang menjadi penyebab. Namun, tidak dapat diingkari pula bahwa faktor
struktural memiliki daya dorong yang sangat kuat. Faktor struktural di negeri
ini muncul sebagai implikasi dari dominasi penguasa yang secara terus menerus
mengintrodusir gagasan-gagasan neoliberal. Neoliberal adalah sebuah ideologi
pembangunan yang percaya kepada mekanisme pasar bebas. Mekanisme ini dalam
praktik bias elit, menguntungkan pemilik kapital, dan mengesampingkan mereka yang
kecil, miskin dan lemah.
Cara kerja ideologi neoliberal tersebut bisa dilihat dari cara kerja
IMF selama bekerjasama dengan Indonesia. Dengan paradigma pembangunan neoliberal,
IMF dalam batas tertentu berhasil menyingkirkan berbagai penghambat upaya membangun
mekanisme pasar di Indonesia. Memang, IMF berkeyakinan bahwa krisis akan
teratasi dan bahkan pertumbuhan akan terjadi apabila campur tangan negara
dihapus. Segala sesuatunya harus diserahkan kepada mekanisme pasar. Bagi
neoliberalis, persaingan bebas dipandang sebagai cara yang paling efisien dan
efektif untuk mengalokasikan investasi, mengelola sumberdaya alam dan memenuhi
kebutuhan nasional. Atas dasar asumsi demikian itulah maka IMF meminta sedapat
mungkin kekuatan negara dilucuti.[18]
Upaya melucuti peran negara dalam
mengelola perbankan, misalnya IMF berhasil mendesak pemerintah untuk mengubah
UU No. 13 tahun 1968. UU yang mengijinkan campur tangan pemerintah itu dianggap
sebagai penyebab terjadinya kegagalan perbankan dan krisis ekonomi. Pemerintah
yang tidak lagi memiliki kekuatan bargaining power, dan tentu bersama DPR yang
saat itu sedang dilanda euphoria anti
penguasa - akhirnya menerbitkan UU No. 23 tahun 1999 tentang independensi Bank
Indonesia dengan harapan BI tidak lagi menjadi ’kasir pemerintah’ seperti di
masa lalu. Belakangan diubah lagi dengan dikeluarkannya UU No. 3 tahun 2004
tentang Perubahan UU No. 23 tahun 1999.[19]
Dalam
posisi independen, Bank Indonesia didesak IMF agar melakukan restrukturisasi
dan juga likuidasi bank-bank insolven. Namun ternyata langkah pembenahan
melalui restrukturisasi perbankan oleh Bank Indonesia tidak berjalan efektif. Likuidasi perbankan
kian memperburuk keadaan. Terjadi rush besar-besaran
saat itu. Sejumlah bank nasional kemudian tetap mengalami insolvensi dan
ekonomi masih saja terpuruk. Prinsip kehati-hatian dan pengawasan perbankan
tetap saja lemah seperti pada masa campur tangan pemerintah begitu kuat. Oleh
karena itu, sekandal pembobolan bank setelah sekandal BLBI, tetap saja terjadi.
BNI yang disuntik USD 100 kemudian dibobol juga 1,7 trilyun dengan LC fiktif.
Adrian H. Waworuntu – salah seorang tersangka pelakunya, bahkan sempat lepas
begitu saja dari tangan polisi, meski akhirnya menyerahkan diri kembali.
Dalam rangka melucuti campur
tangan negara, IMF menyarankan agar pemerintah melakukan privatisasi.
Pemerintah mematuhi saran lembaga moneter internasional ini dengan melaksanakan
sejumlah praktik divestasi. Sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pun
terjual. Sebuah laporan menyebutkan bahwa Singapura saat ini menguasai 50 %
saham Indosat. Perusahaan Li Ka Seng Hongkong memiliki 50 % saham Pelabuhan
Tanjung Priok. Gedung BCA di Jl. Sudirman Jakarta, tahun
2002 dibeli perusahaan Singapura dengn
harga USD 30 juta, padahal tahun 1997 gedung ini ditawar USD 60 juta. Konon saat ini perusahaan
Singapura itu berniat menjual dengan harga USD 60 juta.
Dari
praktik tersebut di atas, ternyata memakai saran IMF, pemerintah bukan saja
berhasil melucuti kekuatan kontrol negara atas sumber-sumber langka yang
dibutuhkan oleh masyarakat. Lebih dari itu pemerintah dengan mudah dan murah
mengalihkannya kepada pihak MNC - perusahaan multi nasional.
Mode produksi dalam tatanan
neoliberal memang diserahkan kepada pasar dengan pemilik modal sebagai pelaku
utama. Negara dan apalagi pemerintah bisa dengan mudah menjadi inferior di
hadapan para pemilik modal. Kita bisa menyaksikan bagaimana pemilik modal
dengan mudah mendesak pemerintah untuk melakukan ’zooning’ dan melakukan apa yang disebut dengan ’land consolidation’ sebagai upaya
menyedikan kawasan pertumbuhan bagi para pemilik modal. Pemerintah tidak berdaya untuk menolak kemauan
para pemilik modal tersebut dan mempersilahkan melakukan investasi di
kawasan-kawasan strategis, di pusat-pusat pertumbuhan kota. Daerah
eksistensial di pusat kota habis disulap untuk kepentingan eksploitasi ekonomi. Sedikit saja tersisa ruang untuk kepentingan eksistensi
non-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, sosial maupun keagamaan.
Pertumbuhan memang terjadi, tetapi
dengan implikasi yang sering tidak dihitung, yaitu penyingkiran dan peminggiran rakyat kecil dari pusat ke daerah
marginal. Mereka lalu tinggal di daerah-daerah slum, di pinggir kota, daerah
sub-urban atau di pedesaan. Di sana mereka tidak memperoleh pelayanan publik
yang memadai dari pemerintah, lalu
mereka menderita karena terjangkit berbagai penyakit – baik penyakit fisik
maupun sosial – yang pada dasarnya berpangkal dari faktor kemiskinan.
Upaya Resistensi
Periferalisasi hampir bisa dipastikan akan terus
terjadi selama terjadi ketimpangan struktur sosial, ekonomi maupun politik.
Oleh karena itu perlu ada perlawanan terhadap struktur eksploitatif sebagaimana
digambarkan di muka. Upaya strategis diperlukan agar terjadi perluasan
penguasaan sumber-sumber perubahan yang selama ini hanya berada di tangan
para pemilik modal. Penyebaran ayat dan teks-teks suci untuk membela kaum
mustadh’afin, kelas tersubordinasi, merupakan hal yang penting. Namun, jika
struktur sosial yang ada sangat eksplotitatif, maka sulit para pendakwah
teks-teks suci itu mengharapkan terjadi perubahan yang berarti.
Langkah yang lebih strategis untuk dilakukan
dengan demikian tidak cukup secara kultural melainkan juga struktural.
Diperlukan upaya memperbaiki konfigurasi sosial, antara lain dengan cara
sistematik menciptakan basis-basis kekuatan demokrasi. Gagasan penciptaan basis
demokrasi ini dengan sendirinya mengharuskan adanya upaya mengubah kelas
subordinat menjadi kekuatan demokratis, kekuatan yang bisa memberi tekanan
kepada penentu kebijakan agar dapat mengalokasikan sumber-sumber perubahan dan
pertumbuhan secara adil. Mengutip Dryzek, Wahab menegaskan bahwa kaum tertindas
akan tetap terpuruk dan tidak masuk dalam kalkulasi politik jika tidak bisa mengubah
dirinya menjadi kekuatan penekan bagi para pengambil kebijakan publik. Di
sinilah letak pentingnya perluasan basis demokrasi.[20]
Pentingnya perluasan basis demokrasi semakin tak
terelakkan karena state –yang
semestinya bisa menjadi kendaraan ’wong cilik’ dalam praktik justru cenderung
mengabdi ke pemilik modal. State
acapkali berada dalam posisi inferior terhadap pemilik modal, sebaliknya
berubah menjadi superordinat yang sering dengan arogan mengeksklusi kalangan
mustadh’afin – baik secara ekonomi maupun politik. Di masa lalu, proses eksklusi dilakukan dengan stigmatisasi (hegemoni)
sekaligus disertai dengan kekerasan.
Penguatan civil society menjadi sangat relevan,
karena mereka diperlukan untuk membangun basis demokrasi. Jika dapat diperluas basis kekuatan demokrasi,
maka terbuka ruang untuk menekan pengambil kebijakan. Mereka bisa didesak untuk
menghindari praktik alokasi dan distribusi dengan cara mendasarkan ’siapa yg
kuat’ – dan mengabaikan ’yang lemah.’ Kekuatan demokrasi, terutama yang berasal dari komponen civil
society, dapat menekan para
penentu kebijakan agar economic forces
– kekuatan ekonomi tidak hanya berada di sektor modern, tetapi juga bisa
dirasakan oleh mereka yang selama ini hanya mampu mengembangkan mode ekonomi
tradisional, industri rumah tangga, ekonomi bazar atau bakulan – tentu saja termasuk para petani dan kaum buruh.
Keinginan itu bisa terwujud jika instrumen
kebijakan ekonomi (economic policy
instruments) bisa dialirkan dengan semangat melindungi kepentingan masyarakat
tersubordinasi. Instrumen yang meliputi suku bunga, pajak penghasilan,
kebijakan di bidang exchange-rate,
tarif, larangan impor-ekspor jenis barang tertentu itu selama ini cenderung
manipulatif. Pemanfaatan instrumen ekonomi tersebut bermakna insentif bagi
pemilik modal, tapi disinsentif bagi ’wong
cilik’. Kebijakan penerapan instrumen ekonomi itu menjadi pemicu tingkat
konsumsi tinggi sehingga memperlemah dorongan untuk melakukan saving, sebagaimana terlihat rendahnya
angka tabungan masyarakat.
Secara teoritik maupun praktis, tampaknya sulit
mengharap state untuk melakukan
distribusi dan alokasi sumber-sumber perubahan secara adil. Masalahnya,
penentu kebijakan dan penanggung jawab pelayanan publik, dalam posisi inferior
dan memiliki interest tersendiri. Interest mempertahankan kekuasaan, masih jauh
lebih penting daripada memikirkan kaum terpinggirkan. Kebijakan-kebijakan
populer, seperti pengentasan kemiskinan, pengurangan angka pengangguran, masih
lebih banyak berupa lip-service daripada
sebuah gerakan yang bersungguh-sungguh memerangi kemiskinan dan pengangguran. Berbeda halnya dengan pelayananan mereka
terhadap kepentingan para pemilik modal. Dalam kasus yang terakhir ini penentu
kebijakan dengan sungguh-sungguh memberi perhatian dengan melakukan berbagai
macam langkah seperti melakukan restrukturisasi investasi, zooning maupun land organization yang menguntungkan interest pemilik modal.
Sebaliknya, masyarakat menyaksikan miskinnya kreatifitas penentu kebijakan
dalam soal mengalirkan instrumen ekonomi bagi mobilitas masyarakat yang selama
ini tersubordinasi.
Partai politik dalam hal ini seharusnya bisa
menempatkan diri sebagai kendaraan masyarakat yang terpinggirkan tersebut dan mendorong mereka agar bisa menjadi kekuatan
civil society yang kuat.
Namun sejauh ini tidak terjadi sebagaimana yang diharapkan. Partai politik
ternyata juga memiliki interestnya sendiri yang berbeda dengan interest
konstituen mereka. Partai politik sibuk menghimpun syarat-syarat eksistensial
mereka sendiri sebagai manifestasi dari moral-selfishness yang kuat di kalangan
politisi. Apa yang terjadi kemudian adalah politik untuk politisi itu sendiri –politics for itself, dan bukan politics
for common good –politik untuk kebaikan bersama.[21]
Setidak-tidaknya untuk saat ini, masyarakat
tersubordinasi tidak bisa lain selain harus menolong dirinya sendiri. Kelompok
ini harus berusaha membuka jalan menuju apa yang disebut Dryzek (1996) dengan the progressive inclusion of various groups
and categories of people in political life –mengupayakan pelibatan secara
progresif kekuatan tersubordinasi ke dalam kancah kehidupan politik. Tentu saja usaha tersebut akan lebih
ringan jika partai politik, organisasi dan berbagai gerakan sosial menyiapkan
diri sebagai kendaraan atau instrumen. Bersama-sama mereka yang terpinggirkan memberi tekanan
kepada para penentu kebijakan agar mengarahkan instrumen ekonomi dan
sumber-sumber perubahan secara lebih berkeadilan.
Kesimpulan
Penguatan civil society merupakan keniscayaan bagi
negara yang ingin membangun demokrasi yang kokoh. Bagi umat Islam, penguatan
civil society akan bermakna menjadi penguatan kesadaran ekonomi politik karena
penguatan civil society berarti mengangkat ekonomi dan bargaining politik
mayoritas warga negara di Indonesia, dan notabene mayoritas warga itu beragama
Islam.
Penguatan civil society,
akan terjadi manakala kesenjangan ekonomi politik dapat dihindari. Selama
ketimpangan itu masih terjadi maka akan sulit membangun kultur civil society
yang menekankan kepada cara hidup saling percaya (trust), menyelesaikan masalah berdasarkan konsensus dan bukan
kekerasan, membangun peradaban berdasarkan kebebasan dan iklim yang damai.
Budaya politik yang bertolak belakang dengan kultur civil society, seperti
penggunaan kekerasan dalam penyelesaian konflik, pemaksaan kehendak, lemahnya
tradisi konsesus, lebih disebabkan karena lemahnya penyelesaian ketimpangan
ekonomi politik yang terjadi di negeri ini.
Memasuki era reformasi,
kecenderungan menguatnya peran partai politik kian terasa. Namun, sejauh ini
belum bisa menjelma menjadi agen penguatan civil society sebagaimana yang
diharapkan. Sementara itu kekuatan pasar cenderung menerapkan hukum pasar bebas
yang kurang menguntangkan lapisan ekonomi lemah (mustadh’afin). Bahkan kekuatan mereka mampu menghegemoni negara
dan juga kekuatan politik untuk melindungi kepentingan mereka.
Peluang memperkuat civil
society ke depan, lebih ditentukan oleh tingkat kesadaran politik masyarakat
itu sendiri, terutama kesadaran politik umat Islam sebagai mayoritas penduduk
Indonesia. Dengan demikian, faktor pendidikan, khususnya pendidikan politik di
kalangan ummat Islam menjadi sesuatu yang relevan dijadikan instrumen penguatan
civil society.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, R. O’G Benedict,
Kuasa Kata: Jelajah Budaya-budaya Politik di
Indonesia, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000.
Baudrillard,
Jean,
Galaksi Simulacra, Yogyakarta: LKiS, 2001
Casanova,
Jose,
Public Religion in the Modern World, Chicago and London: The University
of Chicago Press, 1994.
Colombijn, Freek dan J. Thomas
Lindblad (eds),
Roots of Violence in Indonesia, Singapore:
ISEAS, 2002.
Dant, Tim,
Knowledge,
Ideology and Discourse: A Sociological Perspective, London:
Routledge, 1991
Effendy, Bahtiar,
Islam dan Negara: Transformasi
Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
Effendy, Bahtiar,
Teologi baru
Politik Islam: Pertautan
Agama, Negara dan Demokrasi, Yogyakarta: Galang Press, 2001.
Fakih,
Mansour,
Bebas dari Neoliberalisme, Yogyakarta: Insist Press, 2003.
Fukuyama, Francis,
dalam The Great Disruption: Human Nature and the Reconstruction of Social
order, New York: The Free Press, 1999.
Haris,
Syamsuddin,
“Politicization of Religion and
The Failure of Islamic Parties in The 1999 General Election,” dalam Hants
Antlov dan Sven Cederroth, Elections
in Indonesia: The New Order and beyond, London and New York:
RoutledgeCurzon, 2004.
Hidayat, Komaruddin,
"Zero Trust Society," Kompas, 18 September 2000.
Hobbes, Thomas
kutip Francis Fukuyama, The Great Disruption: Human Nature and The Reconstruction of Social
Order, New York: The Free Press, 1999.
Keane, John,
Civil society: Old images, New Visions, california: Stanford
University Press, 1998.
King,
Dwight,
“The Elections of 1955 and 1999:
Similarities and Continuities,” makalah disampaikan dalam pengukuhan Habibie
Center, Jakarta 22-24 Mei 2000, dalam Leo Suryadinata, Elections and Politics in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2002.
Kuntowijoyo,
Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991
Maarif,
Syafi'i,
Islam dan Politik di Indonesia, Pada
masa demokrasi terpimpin (1959-1965), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,
1988.
Maliki, Zainuddin,
Penaklukan
Negara Atas Rakyat, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998.
Maliki, Zainuddin,
Agama Priyayi:Makna Agama di tangan Elite
Penguasa, Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004.
Maliki, Zainuddin,
Politikus Busuk: Fenomena Insensibilitas Moral
Elite Politik, Yogyakarta: Galang Press, 2004.
Muis,
A.,
"Predatory
Democracy," Kompas, Selasa, 30
Januari 2001.
Nordholt,
Henk Schult,
”A Genealogy of
Violence,” dalam Roots of Violence in
Indonesia, Singapore: ISEAS, 2002.
Rachman,
Budhy Munawar,
Islam Pluralis:
Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Srigunting, 2004
Rahardjo,
Dawam,
Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik
Bangsa, Bandung: Mizan, 1993.
Surbakti,
Ramlan,
“Government and Politics: Formal
Political institutions,” dalam Richard W. Baker dkk. Indonesia the Challenge of Change, Singapore:
ISEAS, 1999.
Syahdeini,
Sutan Remy,
“Menelusuri Sumber Kemandirian
Bank Indonesia,” dalam Politik dan BLBI,
Jakarta:x-Biz, 2000.
Weber, Max, "Wirstschaft und Gesselschaft,
dalam Randall Collins, Weberian Sociological Theory, Cambridge University Press: 1990
Wahab,
Solichin Abdul,
Ekonomi Politik Pembangunan: Bisnis Indonesia Era Orde
Baru dan di Tengah
krisis Moneter, Malang: Brawijaya University Press, 1999.
[1] Ramlan Surbakti, “Government and Politics:
Formal Political institutions,” dalam Richard W. Baker dkk. Indonesia the Challenge of Change, Singapore:
ISEAS, 1999, hal. 61-78.
[2] Lihat Zainuddin Maliki, Penaklukan Negara Atas Rakyat, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1998.
[3] John Keane, Civil society: Old Images, New Visions, California: Stanford University Press, 1998, hal
6-7.
[4] Hierocrat adalah istilah
Weber untuk menggambarkan tokoh
berbasis sosial keagamaan yang berhasil mengambil puncak kekuasaan politik.
Berbeda dengan caesaropapism —rezim
sekuler atau tokoh politik yang berasal dari pinggiran komunitas keagamaan,
kendati demikian mampu juga membangun kuasa wibawa di tengah kehidupan kegamaan. (lihat Max Weber, "Wirstschaft
und Gesselschaft," dalam Randall Collins, Weberian Sociological Theory, Cambridge University Press: 1990,
hal. 57-8)
[5] Francis Fukuyama dalam The Great Disruption: Human Nature and the Reconstruction of Social
order, New York: The Free Press, 1999, hal 16.
[7] Di tengah
merosotnya legitimasi militer di negeri ini, justru muncul para-militer dan
bahkan semacam milisi yang dibentuk sejumlah organisasi massa dan partai
politik seperti Banser, Garda Bangsa, Satgas PDI-P, Kokam, Gerakan Pemuda
Ka'bah dari milisi partai, Lasykar Jihad, Front Pembela Islam (FPI), Front Hisbullah dari
milisi Islam. Kelompok Kristen misalnya muncul Lasykar Yesus Kelelawar
Hitam di Poso, dan sejumlah lasykar Kristen di daerah-daerah konflik
Islam-Kristen di Ambon dan Maluku Utara. Rakyat Irian Jaya membentuk
milisi, meski tak dipersenjatai, seperti Satgas Papua Merdeka yang
mengorganisir diri mirip organisasi militer. Menarik
pada era ini juga muncul para-militer atau milisi yang pembentukannya tidak
atas dasar alasan politik, melainkan ekonomi.
Di Mataram misalnya, muncul Milisi Bujak dan Amphibi. Bujak melengkapi
puluhan ribu anggotanya dengan senjata dan handy
talkie,untuk memburu para penjarah dan maling-maling ternak. Demikian juga
Pasukan Berani Mati (PBM) dengan basis massa pendukung Gus Dur.
Kelompok ini ingin mempertahankan Gus Dur sebagai presiden keempat sampai masa
akhir jabatannya, 2004.
[9] Lihat A. Muis, "Predatory Democracy," Kompas, Selasa, 30 Januari 2001.
[10] Kuntowijoyo, op.cit., hal 82.
[11] Abdullah, 1991 dan pergeseran formasi sosial lihat Priyono dalam Ibid.,
hal 30-31.
[12] Lihat Zainuddin Maliki, Agama Priyayi: Makna Agama
di tangan Elite Penguasa, Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004.
[13] Dawam Rahardjo,
Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, Bandung: Mizan, 1993,
hal 234-235.
[14] R. O’G Benedict
Anderson, Kuasa Kata: Jelajah Budaya-budaya Politik di
Indonesia, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000.
[15] Freek Colombijn, dan J. Thomas
Lindblad (eds), Roots
of Violence in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2002.
[16] Henk Schult
Nordholt, ”A Genealogy of Violence,” dalam Roots
of Violence in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2002, hal 34.
[17] Tim Dant, Knowledge,
Ideology and Discourse: A Sociological Perspective, London: Routledge,
1991, hal 11
[19] Sutan Remy Syahdeini, “Menelusuri Sumber Kemandirian Bank Indonesia,”
dalam Politik dan BLBI, Jakarta:x-Biz, 2000, hal 231-235.
[20] Solichin Abdul Wahab, Ekonomi Politik Pembangunan: Bisnis Indonesia Era
Orde Baru dan di Tengah krisis Moneter, Malang:
Brawijaya University Press, 1999, hal 28-29.
[21] Zainuddin Maliki, Politikus
Busuk: Fenomena Insensibilitas Moral Elite Politik, Yogyakarta: Galang
Press, 2004, hal 16-17.