Buku saya ini mengajak pembaca untuk memahami potret perilaku elite penguasa pemerintahan Jawa di kota besar dalam mengkonstruk agama di tengah relasinya dengan kekuasaan. Kekuasaan masih dipandang analog dengan tanah yang tidak bisa diperluas. Setiap usaha memperluasnya, hanya berarti mengurangi kekuasaan orang lain. kekuasaan masih milik sebuah "enclave", dalam hal ini milik segelintir elite yang memiliki kesamaan kesetiaan, kepentingan dan skisma aliran
Kekuasaan merupakan permainan politik kaum elite yang cenderung tidak terbagi. Kalau toh harus berbagi, sedapat mungkin dilakukan dengan orang dekat dan orang-orang setia atau para "zealot". Dalam birokrasi, maka lahir sebuah praktik "birokrasi perkoncoan" yang tidak jauh beda dengan patrimonialisme, mereka saling melindungi di antara sesama kelompok kepentingan dan skisma aliran.