https://search.google.com/search-console/removals?resource_id=https%3A%2F%2Fzetende.blogspot.com%2F

Thursday, May 10, 2018

SADAR AGAMA MENYIMPAN ENERGI POLITIK YANG BESAR: Sultan Agung pun mengubah kalender Jawa dengan penanggalan Islam



Sultan Agung dengan jeli melihat energi di balik agama. Di sana ada kekuatan yang dapat memperkokoh kekuasaan. Kekuasaan yang ia bangun di atas doktrin ‘keagungbinataraan’. Kekuasaan yang luas gung binatara, bau dendha anyakrawati –sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia. Sang rajalah pemegang kekuasaan tertinggi di seluruh negeri –wenang wisesa ing sanagari. Untuk mengokohkan kekuasaannya, Sultan Agung mengundang ulama dari Mekah untuk mengukuhkannya sebagai seorang Sultan yang bergelar sayyidin panata gama, kalifatullah ing tanah Jawi. Dengan cerdik pula, Sultan Agung mengubah kalender Jawa dengan penanggalan Islam, sehingga orang Jawa kemudian mengenal nama bulan seperti Sawal, Selo, Besar, Suro, Sapar, Mulud, Bakda-mulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah lan Poso. Namun, prinsip penundukan (vassal) dan pertuanan (overlord) tetap saja tida k bisa dielakkan. Dianggap sebagai ancaman, Sultan Agung pernah mengirim ekspidisi penyerangan ke daerah para wali, di Giri pada 1635. Setelah itu Mangkurat II mene¬ruskan untuk menghancurkannya pada 1680.

Baca juga: http://zetende.blogspot.co.id/2018/04/telah-tersingkir-dengan-sukses-para.html

Begitulah kalau saja kekuasaan dikonstruks seperti ‘sawah’ –komoditi yang hanya bisa diperluas dengan cara mempersempit ‘sawah’ milik orang lain. Konstruks kekuasaan dengan metafor ‘sawah’ itu tampak masih dijalankan oleh sementara penguasa di jaman Indonesia modern. Penundukan dan pertuanan masih dipelihara. Pemilu, sebagai wujud system demokrasi, bisa ‘ditekuk-tekuk’ sehingga tetap menghasilkan system kekuasaan yang diselimuti oleh nilai-nilai ‘kebinataraan’. Kekuasaan lalu digunakan untuk membatasi partisipasi. Kekuasaan lalu dimanfaatkan untuk memperbesar kewenangan. Kekuasaan bukan untuk menciptakan altruisme atau kebaikan bersama, melainkan untuk meneguhkan predikat homo politicus yang sekaligus homo economicus sang pemegang kekuasaan.

Pingin lebih jauh lagi bacaan anda tentang perilaku penguasa di negeri ini? Bacalah buku saya " Agama Priyayi," diterbitkan Pustaka Marwa, Yogyakarta. Buku ini ditulis untuk dijadikan teman diskusi bagaimana sebenarnya kekuasaan itu harus dicari, dan dipergunakan. Kesejahteraan, kedamaian dan kesentausaan hidup bersama memang membutuhkan sejumlah kuasa. Namun, kuasa yang bukan disalah gunakan dan disalah artikan.




Tautan:
http://zetende.blogspot.co.id/2018/05/sadar-agama-menyimpan-energi-politik.html
http://zetende.blogspot.com/2018/04/telah-tersingkir-dengan-sukses-para.html
http://zetende.blogspot.co.id/2018/04/kenapa-amien-rais-berteriak.html
http://zetende.blogspot.co.id/2018/04/the-end-of-globalization-perang-dagang.html
http://zetende.blogspot.com/2018/05/radikalisme-atas-nama-agama-merasa.html

No comments: