https://search.google.com/search-console/removals?resource_id=https%3A%2F%2Fzetende.blogspot.com%2F

Thursday, May 17, 2018

"FAKTA ATAU KONSPIRASI, TERORISME HARUS DIHABISI"


Negara dibikin harus kerja lebih keras lagi untuk bisa meyakinkan publik, bahwa teror sudah akan berakhir. Masyarakat sudah mencoba tidak takut dan tidak gentar. Namun, setidak-tidaknya beberapa hari setelah teror tak bermoral penebar maut di Surabaya dan sekitarnya itu terjadi, senyatanya jalan-jalan lengang, pertokoan tutup, omset dagangan merosot drastis, dan sekolah-sekolah diliburkan. Masyarakat mengharap pemerintah melalui aparatusnya yang berwenang, khususnya POLRI untuk memberantas terorisme,hingga kemudian tercipta stabilitas, terjauh dari kecemasan dan ketakutan.

Oleh karena yang menjadi korban adalah Jemaat Gereja dan terduga penebar teror adalah Islam, maka umat Islam pun kena getahnya. Masyarakat yang berfikir pendek dengan gampang menyimpulkan Islam itu penebar teror. Tidak mau tahu, bahwa Islam itu bahkan mayoritas umatnya adalah toleran, demokratis dan penebar rahmatan lil alamin. Oleh karena itu dalam kondisi seperti ini mayoriras umat Islam yang toleran haruslah bekerja keras dan lebih sistematis menangkal ideologi radikal, selanjutnya menebarkan faham Islam toleran dan penebar rahmatan lil alamin.

FAKTA ATAU KONSPIRASI?

Sejauh ini, tampaknya pandangan masyarakat terbelah. Ada yang mengatakan rentetan teror yang terjadi itu adalah fakta. Tetapi, ada yang walaupun mungkin diam-diam beranggapan bahwa rentetan teror penebar maut itu adalah proyek, rekayasa dan konspirasi. Yang pasti, tidak ada yang bisa menunjukkan bukti semua itu adalah proyek konspirasi. Oleh karena itu dikesampingkan tentang pendapat yang mengatakan kemungkinan munculnya orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang berusaha memanfaatkan segelintir orang Islam radikal.

Satu hal yang tidak perlu dipungkiri bahwa selama ini memang di kalangan muslim, meskipun kecil jumlahnya namun ada yang dikenal sebagai kelompok berkacamata kuda. Mereka berkacamata kebenaran tunggal, lalu merasa dirinya paling benar. Mereka perlihatkan sikap intoleran, disertai sikap mudah mengkafirkan orang dan bahkan bersikap radikal terhadap orang yang berfaham lain. Inilah cikal bakal munculnya gerakan radikal atas nama agama.

Gerakan kekerasan atas nama agama memiliki karakteristik yang khas dan sangat mudah diidentifikasi. Konsep “banyak jalan menuju syurga,” atau konsep “kebenaran plural,” tidak dikenal. Gerakannya cenderung ber-ideologi “kebenaran tunggal.” Oleh karena itu, selain kebenaran menurut kacamatanya, semua adalah salah, bahkan kafir yang kalau mati masuk neraka. Mereka tidak pernah mencoba ber-muhasabah tentang kemungkinan merasa benar di jalan yang sesat dan bukan tersesat di jalan yang benar. Oleh karena itu mereka memegangi ideologi kebenaran tunggalnya itu dengan "kekeh" sehingga cenderung kaku.

Mereka tidak merasa perlu berdialog,bahkan bersikap sensitive terhadap pandangan lain. Mereka tidak mentolerir siapa saja yang fahamnya tidak masuk kerangka ideologi kebenaran tunggalnya, kendati sesama anak bangsa, bahkan sesama Islam. Sebaliknya mereka yang tak sejalan dengan kerangka berfikir mereka, layak dijadikan korban kekerasan. Bahkan layak diperangi dan dijadikan sasaran bom bunuh diri (suicide bombings). Sikap seperti inilah yang sungguh rentan, bak tumpukan jerami yang dengan mudah dikonspirasi oleh fihak-fihak tak bertanggung jawab untuk memusuhi, menteror, membunuh dan memerangi sesama, bahkan sesama Muslim.

BUKAN MONOPOLI ISLAM

Sebenarnya, gerakan kekerasan atas nama agama, tidak hanya terjadi dalam Islam. Gerakan kekerasan atas nama agama juga terjadi di kalangan Kristen. Salah satu contoh dari gerakan yang mengatasnamakan agenda suci dalam Kristen itu seperti digambarkan Kelsay dan Twiss, sebuah gerakan fundamentalisme pada tahun 1920-an yang digerakan oleh pemeluk agama yang taat di dalam Kekristenan. Gerakan ini ingin menjaga dan memurnikan kesempurnaan Alkitab. Mereka tidak sabar menunggu kedatangan Yesus kembali. Dalam kerangka kesempurnaan Alkitab itulah mereka mengkritik dan melawan banyak aspek kehidupan modern seperti pluralisme, konsumerisme, materialisme dan penekanan pada persamaan laki-laki perempuan (Lihat John Kelsay dan Sumner B. Twiss, Agama dan Hak-hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Institut Dian/Interfidei, 1997, hal 35-36).

Dalam kondisi seperti ini saya tertarik untuk mengangkat catatan Prof. Komaruddin Hidayat. Memberi pengantar buku saya "Agama Rakyat, Agama Penguasa," mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menyatakan bahwa agama merupakan sumber peradaban yang sangat besar dalam sejarah kemanusiaan, namun agama juga merupakan sumber konflik sosial yang amat kejam dan berkepanjangan. Karena fenomena agama yang selalu tampil mendua dan ambigu ini maka agama sering dituduh memiliki cacat bawaan yang kronis. Ia dipuji dan dibela tetapi sekaligus juga dibenci dan dicaci. Nasib seperti ini dialami terutama oleh agama Yahudi, Kristen dan Islam (Zainuddin Maliki, Agama Rakyat Agama Penguasa, Yogyakarta: Galang Press, 2000:xxi).



Tautan:
http://zetende.blogspot.co.id/2018/05/sadar-agama-menyimpan-energi-politik.html
http://zetende.blogspot.com/2018/04/telah-tersingkir-dengan-sukses-para.html
http://zetende.blogspot.co.id/2018/04/kenapa-amien-rais-berteriak.html
http://zetende.blogspot.co.id/2018/04/the-end-of-globalization-perang-dagang.html
http://zetende.blogspot.com/2018/05/radikalisme-atas-nama-agama-merasa.html

No comments: