https://search.google.com/search-console/removals?resource_id=https%3A%2F%2Fzetende.blogspot.com%2F

Friday, July 13, 2012


Environment Degradation Lead to Disaster
BENCANA SEBAGAI AKIBAT DEGRADASI LINGKUNGAN

Zainuddin Maliki
There are disasters that arise as a result of the policies in the extractive industries that ignore  the disaster risk reduction in the national development plan. Development policy, especially in forestry, mining and other extraction industries was revealed as the cause of ecological destruction in Indonesia. The environments crisis not only causes a variety of disasters, but also lead to the community to be vulnerable due to loss of various sources of environmental degradation and disaster prevention. It can be understood if the public was not quite get the guarantee of protection from the catastrophes. 

Krisis lingkungan belakangan kian parah. Krisis itu tidak hanya berpotensi menimbulkan peningkatan jumlah kejadian tetapi juga meningkatkan intensitas bencana. Krisis lingkungan tersebut dapat dilihat pada gejala perubahan iklim dan peralihan musim yang tidak dapat diprediksi.  Meningginya permukaan air laut di satu pihak, dan kebakaran hutan yang tidak terkendali di lain pihak merupakan petunjuk yang nyata dari terjadinya krisis lingkungan yang kian mencemaskan. 
Krisis lingkungan telah menimbulkan berbagai keadaan kritis. Tak jarang kemudian berubah menjadi bencana yang begitu besar dan terjadinya begitu cepat.  Kesemua itu menempatkan manusia, sistem dan struktur kehidupan menjadi tidak berfungsi. Bukan hanya kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi tetapi keberlangsungan hidup suatu masyarakat menjadi terancam.[1]
Salah satu bencana yang besar terjadi di Indonesia, yaitu gelombang Tsunami yang dipicu oleh gempabumi di Aceh 26 Desember 2004 dengan menyebarkan kematian dan kehancuran yang tiada preseden sebelumnya. Krisis lingkungan juga memicu munculnya bencana puting beliung Katrina di padang pasir Mexico bulan Agustus 2005 membuat New Orleans menjadi kota mati. Belakangan bencana banjir melanda Pakistan akibat hujan ekstrim pada bulan Juli/Agustus 2010. Tentu saja gelombang Tsunami di Jepang 11 Maret 2011 akibat gempa berkekuatan 8,9 Skala Richter yang menelan ribuan korban meninggal terutama di Fukushima, Miyage dan Iwate berakar dari ketidak seimbangan lingkungan, dalam hal ini dinamika laut dan atmosfir sebagai dampak dari rotasi bumi.  
Pada umumnya bencana adalah akibat ulah manusia. Pembalakan liar (illegal logging) dan pembukaan lahan, termasuk industri ekstraktif yang tak terkendali di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, telah mengakibatkan tanah longsor, kemarau, dan banjir. Kondisi DAS di Indonesia banyak yang semakin kritis. Debit air di sungai-sungai itu terdegradasi. Tidak kurang dari 52 sungai yang tersebar di Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke konon memiliki debet yang berpotensi menimbulkan bencana kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Pendek kata alam yang ramah itu kemudian menjadi marah dan bahkan murka, yang bukan hanya mengancam dunia bisnis dan industri namun lebih dari itu mengancam keselamatan manusia.
Krisis lingkungan yang dihadapi Indonesia salah satu penyebabnya adalah praktik tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut yang tidak responsif dalam pelestarian lingkungan dan pengurangan resiko bencana. Pengusahaan hutan dengan model tebang habis (land clearing) menjadi pangkal penyebab berkurangnya luas hutan dan berbuntut terjadinya krisis lingkungan dan tak ayal kemudian melahirkan bencana seperti kekeringan dan kebakaran hutan. Indonesia tengah menghadapi krisis keberadaan hutan alam dan terancam oleh munculnya bencana ekologis akibat terdegradasinya hutan hujan tersebut.[2]
Peta zonasi ancaman bencana kekeringan di Indonesia bisa dilihat dalam gambar yang dikeluarkan BNPB berikut:

  Kerusakan lingkungan akibat industri perkebunan, bisa dilihat pada proyek minyak sawit di Kalimantan Tengah. Proyek satu juta hektar lahan gambut yang 50 persen dikuasai perusahaan asing ini ini mengalami kegagalan (1996). Kegagalan serupa juga terjadi di proyek 1,2 juta hektar Proyek Lumbung Pangan dan Energi Terpadu Merauke, atau Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua (2011).[3]
Baik MIFEE di Kalteng maupun yang di Papua, kedua proyek ambisius ini hanya menyisakan konflik dan kerusakan lingkungan. Gagal di Kalteng dan Papua, Proyek Food Estate di Papua (MIFEE) yang berpola top down ini di alihkan pemerintah ke Kalimantan Timur. Tidak ada partisipasi rakyat. Kesempatan untuk bisa memanfaatkan kekayaan alam di tempat di mana mereka hidup semakin sulit. Amanat untuk mempertahankan kedaulatan bangsa juga terancam tidak bisa diwujudkan, karena pengelolaan asset nasional jatuh ke pihak swasta asing. Ironinya dalam menjalankan operasinya, perusaan-perusahaan itu nyaris tidak memiliki komitmen untuk turut menjaga keseimbangan lingkungan dan apalagi mewujudkan prinsip sustainable development.[4]
Bukan hanya ancaman kekeringan, tetapi Indonesia juga rawan banjir. Kini terdapat tidak kurang dari 497 kabupaten/kota di Indonesia 176 diantaranya rentan terhadap banjir. 154 kabupaten/kota berisiko tinggi longsor, dan 153 lainnya terancam kekeringan.  Selama tahun 2011, telah terjadi  bencana sebanyak 895 kali. Sementara kerugian akibat bencana tahun ini ditaksir lebih dari Rp 45 triliun dari seluruh kerugian bencana yang terjadi pada tahun 2011. Sebagian besar banjir bandang yang terjadi tersebut di atas disebabkan karena rusaknya kawasan hulu akibat kebijakan industri ekstratif di sektor kehutanan.[5]
Peta zonasi ancaman bencana banjir di Indonesia bisa dilihat dalam gambar yang dikeluarkan BNPB berikut:


  Jadi begitu banyak bencana yang timbul sebagai akibat dari kebijakan di wilayah industri ekstraktif yang kurang mengindahkan perencanaan strategis pembangunan nasional berwawasan lingkunan dan pengurangan resiko bencana. Kebijakan pembangunan terutama di sektor kehutanan, pertambangan dan industri ekstraksi lainnya justru diketahui sebagai penyebab kehancuran ekologis di Indonesia. Tidak kurang dari  80% kawasan di Indonesia rawan bencana ekologis.
Krisis lingkungan bukan hanya menyebabkan terjadinya berbagai macam bencana, tetapi juga mengakibatkan masyarakat menjadi rentan karena kehilangan berbagai sumber pencegahan dan perlindungan dari ancaman bencana. Untuk bisa mewujudkan masyarakat yang tangguh bencana, yang ditandai dengan kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan menanggapi dampak buruk bencana, masyarakat memerlukan modal  geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi. Namun di tengah proses degradasi lingkungan seperti digambarkan di muka, maka dapat difahami jika masyarakat sesungguhnya tidak cukup mendapatkan jaminan perlindungan dari ancaman bencana.



[1] Sebuah organisasi lingkungan yang bermarkas di Swiss World Wide Fund (WWF) mengumumkan  10 Sungai Besar di Dunia Berada dalam Bahaya karena mengering sehingga tidak bisa diharap memasok kebutuhan air bersih dalam jumlah yang cukup. Hal itu terjadi karena kegiatan industri ekstraktif yang tidak pro perlindungan persediaan air, pengambilan air berlebihan, polusi dan perubahan iklim. Sungai yang masuk dalam daftar itu antara lain Yangtze, Mekong, Salween, Gangga, dan Indus. Sungai Danube di Eropa termasuk di dalamnya bersama dengan La Plata dan Rio Grande di Amerika, Sungai Nil di Afrika, dan Sungai Murray-Darling di Australia. Data dikutip dari http://www.antaranews.com/view/?i=1174398745&c=WBM&s=. Lihat juga Satelite Journey  19 Maret 2007, http://santolita.blogspot.com/2007/03/bahaya-kekeringan.html.
[2] Proyek perkebunan sawit dan lahan gambut yang lebih 50 persen jatuh di pihak asing, sulit diharap komitmennya untuk membangun pelestarian lingkungan. Akibatnya kebakaran hutan di Indonesia berkembang menjadi sangat mencemaskan. Titik api paling banyak dijumpai di Kalimantan Barat. Menurut Kementerian Kehutanan, dari periode 2007-2011 dijumpai tidak kurang 10 ribu titik api di Kalbar (Lihat Jawa pos, 21/05/2012). Tahun 1990-an Rawa Tripa, Nagan Raya, Aceh masih memiliki hutan rawa gambut 62.000 hektar, yang berarti terluas di Sumatera. Tahun 2000, 35 persen hutan rawa gambut tersebut hancur. Pencitraan satelit memperlihatkan hutan yang ada tinggal 11.504,3 hektar (Kompas, 25 Mei 2012).
[3] MIFEE sebuah rencana perubahan peruntukan sejumlah besar lahan, termasuk hutan, untuk dijadikan perkebunan untuk tanaman pangan, energi dan tanaman produktif lainnya. Proyek ini melibatkan 10 BUMN dan 37 perusahaan swasta, termasuk perusahaan asing. Luas areanya berkisar setengah juta hingga 2,5 juta hektare atau lebih. Proyek ini dirancang sebagai upaya untuk mendorong keamanan pangan Indonesia. Keterlibatan perusahaan asing mengindikasikan proyek ini menekankan kepada pasar ekspor. Tak pelak, mega proyek ini lalu menimbulkan resistensi terutama dari masyarakat setempat, kelompok gereja, dan organisasi masyarakat sipil. Sejumlah kelompok lokal, yang didukung Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menolak keras proyek tersebut (Lihat Buletin DTE Edisi Khusus, No. 89-90, November 2011).
[4] Lihat laporan mengenai hal ini di http://pmeindonesia.com/berita-tambang/313-catatan-akhir-tahun-walhi-2011-krisis-pengelolaan-lingkungan-menyemai-konflik-menabur-bencana.
[5] Walhi merelease data sepanjang Februari hingga akhir 2011 tidak kurang 378 kejadian banjir melanda sejumlah kota di Indonesia. Angka ini meningkat sekitar 11 % dari 2010 yakni 345 kejadian. Banjir melanda 25 provinsi meliputi di Pulau Sumatera mulai Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu. Sedangkan di Kalimantan meliputi Kalimantan Barat, Kalimanatan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi  Selatan, Bali, Sulawei Tengah,  Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat dan Maluku Utara. Pulau Jawa meliputi Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur. Dari total banjir yang terjadi di 25 provinsi tersebut, 12 diantaranya merupakan banjir bandang telah menyebabkan 48 orang meninggal dunia. Ibid.

No comments: