https://search.google.com/search-console/removals?resource_id=https%3A%2F%2Fzetende.blogspot.com%2F

Sunday, June 24, 2012

Indonesian Moslem and Civil Society Reinforcement

Mushaf Alquran kuno ditulis Abd. Latief Sumenep (1793) tersimpan dengan baik di British Library, London (foto: ZM)
 

 
    

 Zainuddin Maliki

Alpha
This paper was about to see how Islam developed civil society as Keane presupposes that in the national life should built a state of freedom of association and express cultural identity, protected from the practice of violence, free self-reflexive, interacting with each other, framing and giving reinforcement is included in the interaction with the state. Islam is meant here is, as expressed by its followers, by taking the case of the experience of Islam in Indonesia. In this case will be seen how the Muslims in Indonesia to build and develop their political identity in the political order was changing.

Pendahuluan

Bersamaan dengan memasuki milenium ketiga, bang­sa Indonesia  memasuki system politik baru. System politik corporatic  dan bureaucratic authoritarian ditinggalkan dan mencoba memasuki system politik baru yang bercorak pluralistic. Dalam sys­tem politik corporatic dan bureaucratic authoritarian, tidak ada arena publik yang bisa digunakan bagi masyarakat untuk melakukan partisipasi politik. Ruang pu­blik, sepenuhnya di kendalikan oleh rejim berkuasa. Pengalaman Indonesia dikendalikan rezim korporatis kehidupan ekonomi politik di kontrol oleh trium­virate, lembaga kepresidenan, militer dan para konglomerat. Dalam formasi poli­tik seperti itu yang terjadi adalah lembaga kepresidenan yang powerful di satu pihak, di lain fihak muncul kabinet yang tersubordinatif, parlemen yang power­less, dan lembaga peradilan yang tidak independen.[1]
Sebaliknya, tidak ada ruang bagi masyarakat untuk membangun kekuatan civil society, kekuatan yang dibangun atas dasar inisiatif masyarakat yang independen, berkesadaran politik rasional dan kritis, tahu masalah yang dihadapi dan cara mencari pemecahannya. Negara pada saat itu melakukan kontrol yang ketat terhadap seluruh aktifitas masyarakat. Bukan hanya dalam membangun kekuatan politik, bahkan sampai dengan jenis pupuk dan bibit mana yang harus ditanam oleh petani ditentukan oleh pemerintah pusat.[2]     
Kekuatan civil society diperlukan untuk menopang sistem politik demokratis. Kendati istilah civil society memiliki makna yang sangat luas dan bahkan beragam. Ada yang menyatakan istilah ini menunjukkan merosotnya despotisme, dan rezim welfare state. Sebaliknya, naiknya pamor neoliberalisme. Namun, dalam bukunya, Civil society: Old images, New Visions, John Keane mengutip ideal type Weber, menyatakan bahwa civil society mengandaikan sebuah bentuk kehidupan berbangsa bernegara di dalamnya dibangun suatu perlindungan yang legal bagi tumbuhnya masyarakat yang terjamin kebebasan berorganisasi, terlindungi dari praktik kekerasan, bebas melakukan self-reflexive, satu sama lain saling berinteraksi, membingkai dan memberi penguatan termasuk dalam berinteraksi dengan negara. Dijamin di dalamnya masyarakat memiliki kebebasan mengekspresikan identitas budaya, ekonomi maupun politik mereka.[3]
            Dalam pengertian civil society seperti digambarkan oleh Keane itulah tulisan ini hendak melihat bagaimana Islam mengembangkan civil society. Islam yang dimaksud di sini adalah sebagaimana yang diekspresikan oleh pemeluknya, dengan mengambil kasus pengalaman Islam di Indonesia. Dalam hal ini akan dilihat bagaimana umat Islam di Indonesia membangun identitas politik mereka dan mengembangkannya dalam tatanan politik yang tengah berubah.

Political Turbulence dan Predatory Democracy

Ruang publik yang terbuka paska reformasi, adalah peluang untuk membangun kekuatan civil society. Masyarakat memiliki kebebasan untuk mengekspresikan pendapat, aspirasi dan kepentingannya. Namun, peluang itu tidak serta merta dapat dijadikan sebagai peluang poositif. Sebuah kenyataan pahit, bahwa dalam Negara yang memulai melakukan reformasi saat itu, di mana mainstream umat Islam lalu berada di dalam kekuasaan, bahkan sempat mengendalikan menjadi sebuah rejim bureaucratic hie­rocracy[4] ternyata tidak otomatis menghasilkan pemerintahan efektif, dan sebaliknya justru di­ikuti dengan krisis yang berkelanjutan. Bangsa Indonesia sejak reformasi terus menerus menjum­pai begitu banyak gangguan tertib sosial, berupa konflik dan bahkan perang saudara —perang antar agama Islam-Kristen di Ambon, antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah, pertum­pahan darah di tanah Aceh, berbagai macam kerusuhan, pembakaran, pengeboman, teror dan praktek kriminalitas di berbagai tempat yang eskalasinya cenderung terus meningkat.
Keadaan semakin memburuk ketika tidak ada kekuatan efektif yang dapat menghentikan segala macam bentuk anarkisme tersebut. Elite politik, terkesan tidak melakukan langkah-langkah yang mengarah kepada pemecahan masalah, bahkan yang terjadi kemudian justru konflik di tingkat elite politik yang tidak mudah diselesaikan. Dalam hal ini, elite politik di parlemen berhadapan dengan elite politik di pemerintahan khususnya Presiden. Bangsa Indonesia lalu benar-benar dihadapkan kepada krisis sosial (social disruption), di­tandai dengan an­caman disintegrasi, kriminalitas, teror, tindak kekerasan —baik individual mau­­pun kelompok— yang dipicu sentimen kepentingan ekonomi, politik, etnis dan bahkan juga sentimen keagamaan.
Francis Fukuyama menyatakan bahwa dalam rangka membangun kehi­dup­an bersama, tidak saja membutuhkan modal fisik seperti tanah bangunan, me­sin, mau­pun modal sumberdaya manusia seperti skill dan pengetahuan, melainkan juga mem­butuh­kan apa yang disebutnya dengan modal sosial. Fukuyama me­nyatakan: Social capital can be de­fined simply as a set of informal values or norms shared among members of group that per­mits cooperation among them. If a membesr of the group come to expect that others will behave reliably and honestly, then they will come to "trust" one another. Trust is like a lubricant that makes the running of any group or organization more efficient.[5]
Jadi bangsa ini memerlukan modal sosial, terutama trust atau kepercayaan untuk dijadikan landasan terbentuknya sebuah nation state yang di dalamnya se­tiap warga dapat ber­sikap jujur, dapat dipercaya satu dihadapan yang lain. Namun sayang, agaknya justru modal sosial, trust, sesuatu yang amat kita butuh­kan kini sedang merosot tajam mengarah kepada titik nadir. Masyarakat kita termasuk yang berada pada lapisan elite politik, nampak miskin hati, rakus kekuasaan dan tidak memiliki rasa empati kepada rakyatnya.[6]
Berbagai kekuatan reaksioner yang dipicu oleh semangat kelompok, etnis, keagamaan bukan hanya memunculkan saling curiga, tetapi sudah saling berusaha memusnahkan. Mereka siap dengan segala macam alat-alat pemusnah mulai dari senjata tajam, ilmu kekebalan, bom rakitan hingga institusi-institusi pemusnah dalam bentuk para-militer yang berafiliasi dengan kekuatan politik maupun kelompok kepentingan tertentu.[7] Kesemua itu disiapkan untuk menghadapi kemungkinan datangnya ancaman dari kelompok lawan maupun kelompok ­beda kepentingan. Situasi seolah mengubah karak­teristik bangsa Indonesia, yang sebelumnya selalu mengklaim diri sebagai bangsa terhormat, ramah dan santun, tiba-tiba kemudian lebih menggambar­kan apa yang disebut Thomas Hobbes, man's natural state is the war of "every one against every one."[8]
Muis meminjam istilah Barrington Moore JR (1973) menggambarkan kini Indonesia menghadapi benturan antara kekuatan reak­sioner, revolusioner dan reformis dengan semangat saling menghancurkan sehingga melahirkan demokrasi predator (predatory democracy). Menurut Moore, sebagaimana di­ku­tip Muis, predatory democracy ditandai dengan ciri-ciri bloody chaos and collapse of natio­nal authority to the point where human life mainly a war of all against all with tiny islands of law and order under the control of strong men waging vendettas against each other.[9]

Karakteristik Masyarakat Subordinasi
Civil Society memerlukan masyarakat yang independen. Mereka tidak bergantung kepada pihak lain. Jika demikian halnya, jika ingin melihat penguatan civil society dari perspektif Islam, maka timbul pertanyaan. Apakah ummat Islam di Indonesia memiliki karakteristik mandiri, tidak berkecenderungan bergantung kepada pihak lain, sehingga bisa membangun kultur civil society yang kuat? Guna menjawab pertanyaan ini perlu dilihat dinamika kehidupan umat Islam, notabene mayoritas penduduk Indonesia ini dari sisi ekonomi, kultural maupun politik.
Dalam konteks Indonesia umat Islam atau Muslim secara umum merupakan representasi ’wong cilik’, komunitas yang lemah dan terpinggirkan dari berbagai lapangan kehidupan.[10]   Komunitas ini pada umumnya berada dalam strata sosial menengah ke bawah, tersubordinasi oleh kekuatan superordinat yang menguasai sumber-sumber eksistensial politik maupun ekonomi. Tentu dengan pengecualian bagi sedikit mereka yang survive atau mereka yang belakangan berhasil melakukan mobilitas sosial –sebagai implikasi dari era keterbukaan dan demokratisasi.
Periferalisasi komunitas Muslim itu berjalan cukup lama. Sejak zaman raja-raja Jawa, komunitas Muslim berada di luar kraton. Mereka teralienasi secara ekonomi dan politik, melalui proses vasal atau penundukan dan overlord atau pertuanan. Pada masa feodal, komunitas Muslim menempati posisi kawulo yang dikenal sebagai lapisan yang men­jadi obyek sistem ekonomi upeti yang diterapkan oleh raja-raja agraris di Jawa. Ketika kolonialisme mengintrodusir formasi sosial kapitalis, posisi komunitas Muslim bergeser men­jadi wong cilik.[11]
Gambaran komunitas tersubordinasi itu berlangsung hingga Indonesia modern. Hal itu bisa dilihat misalnya di dalam birokrasi. Hingga beberapa dekade setelah Indonesia merdeka komunitas Muslim pada umumnya mengisi jabatan rendahan atau yang dikenal sebagai wong ndhek-ndhekan. Sedikit saja mereka yang berhasil meraih posisi dan memegang jabatan strategis atau menjadi wong ndhuwuran. Banyak jabatan strategis di dalam birokrasi pusat dan daerah diisi oleh mereka yang memiliki social origin dari lapisan priyayi atau ambtenaar. Lapisan tersebut terakhir tampak masih ingin menerapkan praktik birokrasi patrimonial dengan menerapkan pola hubungan kawulo-gusti –meski dengan model baru.[12]
Kalau melihat aktifitas ekonomi pasar, kita akan menemukan catatan ko­mu­nitas Muslim terutama bergerak melalui mode ekonomi bazar, industri rumah tangga dan sistem mbakul, mode atau sistem ekonomi yang belakang terus ter­desak oleh ekspansi modal dari kekuatan ekonomi manufaktur yang tak ter­ben­dung. Di sektor industri hampir tidak lagi terdengar eksponen dari komu­nitas Mus­lim seperti yang pernah ada pada masa embrional konsolidasi negeri ini. Pada masa itu sempat muncul klas borjuis pribumi yang social origin-nya Muslim atau kaum santri melalui kegiatan perdagangan, industri rokok dan tekstil. Me­­reka melakukan gerakan sosial ekonomi dan men­jadi pilar bagi pertumbuhan kota, terutama di sepanjang kawasan pantai utara Jawa. Mereka ber­gabung dengan SDI, organisasi yang berorientasi pada kegiatan sosial ekonomi yang didirikan Haji Samanhudi pada tahun 1911 –dikemudian hari mereka men­jadi pendukung utama dari SI, organisasi yang berorientasi ekonomi dan politik yang didirikan pada 10 september 1912.[13]
Kesehatan merupakan bagian dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Di sektor kesehatan ini umat Islam umumnya menghuni daerah-daerah kumuh yang rawan penyakit menular. Tentu tidak boleh diingkari kalau selama ini se­be­narnya juga terjadi mobilitas vertikal. Semakin banyak saja mereka yang bisa ke­luar dari jeratan daerah-daerah berpenyakit. Kendati demikian, besarnya kawasan ku­muh dan masih lebarnya kesenjangan sosial, mengindikasikan betapa besarnya umat Islam yang belum mampu memenuhi harapan hidup dengan standar kesehatan yang baik.
Komunitas Muslim pada umumnya menghuni daerah-daerah tradisional, kawasan slum, hinterland, atau pedalaman. Kawasan-kawasan itu tidak memiliki sarana dan prasarana atau infrastruktur yang memadai. Pemerintah tidak cukup memiliki perhatian baik karena alasan anggaran pusat dan daerah yang kecil, mau­pun karena alasan kesempatan. Ketiadaan kemauan politik yang bersungguh-sungguh untuk memikirkan infrastruktur yang dibutuhkan dalam rangka meno­pang pemenuhan kepentingan eksistensial kaum pinggiran juga merupakan ken­dala utama bagi mobilitas komunitas tersubordinasi ini.
Meminjam istilah Anderson,[14] pemerintah menerapkan strategi bola lam­pu pijar dalam menetapkan alokasi dan distribusi sumber-sumber pembangunan. Sumber-sumber itu dikucurkan ke daerah-daerah strategis di pusat-pusat kota atas nama pertumbuhan ekonomi. Implikasinya sumber-sumber pembangunan itu ti­dak lagi cukup tersisa untuk memikirkan daerah-daerah suburban dan apalagi pedalaman, daerah tempat tinggal mayoritas Muslim. Akibatnya pertumbuhan berkembang di pusat kota yang kemudian menjadi pull factor bagi terjadinya gelombang urbanisasi dengan berbagai persoalan yang ditimbulkannya.
Sementara itu di lapangan pendidikan, sedikit saja yang bisa menikmati fasilitas yang bagus. Meski harus dicatat pula bahwa sebagian komunitas Muslim telah berhasil mengintrodusir institusi pendidikan yang modern. Namun, per­formance yang dicapai masih jauh tertinggal jika di­ban­di­ng­kan dengan yang dicapai komunitas lain. Ko­mu­nitas Muslim lalu dikenal sebagai penyedia sumber­daya manusia dalam jum­lah cukup banyak tetapi de­ng­an kompetensi dan tingkat life skill yang rendah. Oleh karena itu komunitas ini menjadi sumber rekrutmen tenaga kerja dengan upah rendah –di tengah negeri yang me­mi­liki bahan mentah yang melimpah.
Lebih menyedihkan lagi, meminjam istilah komunitas ini erat dengan the roots of violence in Indonesia[15]. Pasalnya daerah-daerah yang menjadi lokus atau ajang konflik berdarah-darah seperti Banyuwangi, Si­tubondo, Pasuruan, Bulak Ban­teng –Surabaya, Tan­jung Priok, Haor Koneng, Tasikmalaya, Lampung, Aceh, Ma­luku, Ambon, Sampit sekaligus merupakan daerah ek­sistensial mayo­ritas mus­lim. Daerah konflik dan kekerasan itu selama ini dijadikan sebagai alat penetapan ’po­liti­cally and economically country risks’. Kalangan pengusaha men­jadikan kawa­san tersebut sebagai based of the economic rationality atau  dasar menen­tukan upaya meng­ulur atau menarik aktifitas bisnis, investasi dan industri mereka.
Tanpa peduli dengan konfigurasi sosial yang timpang, posisi seperti di­gambarkan di muka lalu memunculkan stigmatisasi umat Islam. Kekerasan lalu di­anggap sebagai bahasa, sistem pengetahuan bahkan telah dianggap sebagai iden­titas umat Islam. Sejumlah pihak, termasuk beberapa media masa asing suka membuat synonim antara Muslim dengan berbagai bentuk kekerasan.[16] Mereka tidak lagi memahami bahwa identitas, bahasa dan sis­tem pengetahuan tidak bisa dilipaskan dari konfi­gu­rasi sebuah tatanan masyarakat. Bahkan Mannheim me­nyatakan bah­wa pengetahuan seseorang hanya bisa dipahami melalui konfigurasi sosial di mana ia hi­dup.[17] Dengan demikian seharusnya kekerasan tidak dilihat semata sebagai identitas, melainkan lebih merupakan sebagai akibat konfigurasi sosial yang eksploitatif.  Bahasa kekerasan tidak akan muncul dalam konfigurasi sosial yang adil dan demokratis.

Proses Subordinasi
Periferalisasi komunitas tersubordinasi atau mustadh’afin –memang tidak bisa di ingkari, ada faktor subyektif yang menjadi penyebab. Namun, tidak dapat diingkari pula bahwa faktor struktural memiliki daya dorong yang sangat kuat. Faktor struktural di negeri ini muncul sebagai implikasi dari dominasi penguasa yang secara terus menerus mengintrodusir gagasan-gagasan neoliberal. Neoliberal adalah sebuah ideologi pembangunan yang percaya kepada mekanisme pasar bebas. Mekanisme ini dalam praktik bias elit, menguntungkan pemilik kapital, dan mengesampingkan mereka yang kecil, miskin dan lemah.
Cara kerja ideologi neoliberal tersebut bisa dilihat dari cara kerja IMF selama bekerjasama dengan Indonesia. Dengan paradigma pembangunan neo­liberal, IMF dalam batas tertentu berhasil menyingkirkan berbagai penghambat upaya membangun mekanisme pasar di Indonesia. Memang, IMF berkeyakinan bahwa krisis akan teratasi dan bahkan pertumbuhan akan terjadi apabila campur tangan negara dihapus. Segala sesuatunya harus diserahkan kepada mekanisme pasar. Bagi neoliberalis, persaingan bebas dipandang sebagai cara yang paling efisien dan efektif untuk mengalokasikan investasi, mengelola sumberdaya alam dan memenuhi kebutuhan nasional. Atas dasar asumsi demikian itulah maka IMF meminta sedapat mungkin kekuatan negara dilucuti.[18]
            Upaya melucuti peran negara dalam mengelola perbankan, misalnya IMF berhasil mendesak pemerintah untuk mengubah UU No. 13 tahun 1968. UU yang mengijinkan campur tangan pemerintah itu dianggap sebagai penyebab terjadinya kegagalan perbankan dan krisis ekonomi. Pemerintah yang tidak lagi memiliki kekuatan bargaining power, dan tentu bersama DPR yang saat itu sedang dilanda euphoria anti penguasa - akhirnya menerbitkan UU No. 23 tahun 1999 tentang independensi Bank Indonesia dengan harapan BI tidak lagi menjadi ’kasir pemerintah’ seperti di masa lalu. Belakangan diubah lagi dengan dikeluarkannya UU No. 3 tahun 2004 tentang  Perubahan UU No. 23 tahun 1999.[19]
            Dalam posisi independen, Bank Indonesia didesak IMF agar melakukan restrukturisasi dan juga likuidasi bank-bank insolven. Namun ternyata langkah pembenahan melalui restrukturisasi perbankan oleh Bank Indo­nesia  tidak ber­jalan efektif. Likuidasi perbankan kian memperburuk keadaan. Terjadi rush besar-be­sar­an saat itu. Sejumlah bank nasional kemudian tetap mengalami insolvensi dan ekonomi masih saja terpuruk. Prinsip kehati-hatian dan peng­awasan per­bankan tetap saja lemah seperti pada masa campur tangan pemerintah begitu kuat. Oleh karena itu, sekandal pembobolan bank setelah sekandal BLBI, tetap saja terjadi. BNI yang disuntik USD 100 kemudian dibobol juga 1,7 trilyun dengan LC fiktif. Adrian H. Waworuntu – salah seorang tersangka pelakunya, bahkan sempat lepas begitu saja dari tangan polisi, meski akhirnya menyerahkan diri kembali.
            Dalam rangka melucuti campur tangan negara, IMF menyarankan agar pemerintah melakukan privatisasi. Pemerintah mematuhi saran lembaga moneter internasional ini dengan melaksanakan sejumlah praktik divestasi. Sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pun terjual. Sebuah laporan menyebutkan bahwa Singapura saat ini menguasai 50 % saham Indosat. Perusahaan Li Ka Seng Hongkong memiliki 50 % saham Pelabuhan Tanjung Priok.  Gedung BCA di Jl. Sudirman Jakarta, tahun 2002 dibeli perusahaan Singapura  dengn harga USD 30 juta, padahal tahun 1997 gedung ini ditawar USD 60 juta. Konon saat ini perusahaan Singapura itu berniat menjual dengan harga USD 60 juta.
            Dari praktik tersebut di atas, ternyata memakai saran IMF, pemerintah bukan saja berhasil melucuti kekuatan kontrol negara atas sumber-sumber langka yang dibutuhkan oleh masyarakat. Lebih dari itu pemerintah dengan mudah dan murah mengalihkannya kepada pihak MNC - perusahaan multi nasional.
            Mode produksi dalam tatanan neoliberal memang diserahkan kepada pasar dengan pemilik modal sebagai pelaku utama. Negara dan apalagi pemerintah bisa dengan mudah menjadi inferior di hadapan para pemilik modal. Kita bisa me­nyaksikan bagaimana pemilik modal dengan mudah mendesak pemerintah untuk melakukan ’zooning’ dan melakukan apa yang disebut dengan ’land con­so­li­da­tion’ sebagai upaya menyedikan kawasan pertumbuhan bagi para pemilik modal. Pemerintah tidak berdaya untuk menolak ke­ma­uan para pemilik modal tersebut dan mem­persilahkan mela­kukan investasi di kawasan-kawasan strategis, di pusat-pusat per­tumbuhan kota. Daerah eksistensial di pu­sat kota habis disulap untuk kepentingan eks­ploitasi ekono­mi.  Sedikit saja tersisa ruang un­tuk kepentingan eksistensi non-­ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, sosial mau­pun keagamaan.
Pertumbuhan memang terjadi, tetapi dengan implikasi yang sering tidak dihitung, yaitu penyingkiran dan  peminggiran rakyat kecil dari pusat ke daerah marginal. Mereka lalu tinggal di daerah-daerah slum, di pinggir kota, daerah sub-urban atau di pedesaan. Di sana mereka tidak memperoleh pelayanan publik yang memadai dari pemerintah,  lalu mereka menderita karena terjangkit berbagai penyakit – baik penyakit fisik maupun sosial – yang pada dasarnya berpangkal dari faktor kemiskinan.

Upaya Resistensi
Periferalisasi hampir bisa dipastikan akan terus terjadi selama terjadi ke­tim­pangan struktur sosial, ekonomi maupun politik. Oleh karena itu perlu ada perlawanan terhadap struktur eksploitatif sebagaimana digambarkan di muka. Upaya strategis diperlukan agar terjadi perluasan penguasaan sumber-sumber per­u­bahan yang selama ini hanya berada di tangan para pemilik modal. Penyebaran ayat dan teks-teks suci untuk membela kaum mustadh’afin, kelas tersubordinasi, merupakan hal yang penting. Namun, jika struktur sosial yang ada sangat eks­plotitatif, maka sulit para pendakwah teks-teks suci itu mengharapkan terjadi perubahan yang berarti.
Langkah yang lebih strategis untuk dilakukan dengan demikian tidak cukup secara kultural melainkan juga struktural. Diperlukan upaya memperbaiki konfigurasi sosial, antara lain dengan cara sistematik menciptakan basis-basis kekuatan demokrasi. Gagasan penciptaan basis demokrasi ini dengan sendirinya mengharuskan adanya upaya mengubah kelas subordinat menjadi kekuatan demokratis, kekuatan yang bisa memberi tekanan kepada penentu kebijakan agar dapat mengalokasikan sumber-sumber perubahan dan pertumbuhan secara adil. Mengutip Dryzek, Wahab menegaskan bahwa kaum tertindas akan tetap terpuruk dan tidak masuk dalam kalkulasi politik jika tidak bisa mengubah dirinya menjadi kekuatan penekan bagi para pengambil kebijakan publik. Di sinilah letak pen­tingnya perluasan basis demokrasi.[20]
Pentingnya perluasan basis demokrasi semakin tak terelakkan karena state –yang semestinya bisa menjadi kendaraan ’wong cilik’ dalam praktik justru cenderung mengabdi ke pe­milik modal. State acapkali berada dalam posisi inferior terhadap pemilik modal, sebaliknya berubah menjadi superordinat yang sering dengan arogan meng­eksklusi kalangan mustadh’afin – baik secara ekonomi maupun politik. Di masa lalu, proses eksklusi dilakukan dengan stigmatisasi (hegemoni) sekaligus disertai dengan kekerasan.
Penguatan civil society menjadi sangat relevan, karena mereka diperlukan untuk membangun basis demokrasi. Jika dapat diperluas basis kekuatan demokrasi, maka terbuka ruang untuk menekan pengambil kebijakan. Mereka bisa didesak untuk menghindari praktik alokasi dan distribusi dengan cara mendasarkan ’siapa yg kuat’ – dan meng­abai­kan ’yang lemah.’ Kekuatan demokrasi, terutama yang berasal dari komponen civil society, dapat menekan para penentu ke­bija­k­an agar economic forces – kekuatan ekonomi tidak hanya berada di sektor modern, tetapi juga bisa dirasakan oleh mereka yang selama ini hanya mampu meng­em­bang­kan mode ekonomi tradisional, industri rumah tangga, ekonomi bazar atau bakulan – tentu saja termasuk para petani dan kaum buruh.
Keinginan itu bisa terwujud jika instrumen kebijakan ekonomi (economic policy instruments) bisa dialirkan dengan semangat melindungi kepentingan masyarakat tersubordinasi. Instrumen yang meliputi suku bunga, pajak pengha­sil­an, kebijakan di bidang exchange-rate, tarif, larangan impor-ekspor jenis barang tertentu itu selama ini cenderung manipulatif. Pemanfaatan instrumen ekonomi tersebut bermakna insentif bagi pemilik modal, tapi disinsentif bagi ’wong cilik’. Kebijakan penerapan instrumen ekonomi itu menjadi pemicu tingkat konsumsi tinggi sehingga memperlemah dorongan untuk melakukan saving, sebagaimana terlihat rendahnya angka tabungan masyarakat.
Secara teoritik maupun praktis, tampaknya sulit mengharap state untuk melakukan distribusi dan alokasi sumber-sumber perubahan secara adil. Masa­lahnya, penentu kebijakan dan penanggung jawab pelayanan publik, dalam posisi inferior dan memiliki interest tersendiri. Interest mempertahankan kekuasaan, masih jauh lebih penting daripada memikirkan kaum terpinggirkan. Kebijakan-kebijakan populer, seperti pengentasan kemiskinan, pengurangan angka peng­angguran, masih lebih banyak berupa lip-service daripada sebuah gerakan yang bersungguh-sungguh memerangi kemiskinan dan pengangguran. Berbeda halnya dengan pelayananan mereka terhadap kepentingan para pemilik modal. Dalam kasus yang terakhir ini penentu kebijakan dengan sungguh-sungguh mem­beri perhatian dengan melakukan berbagai macam langkah seperti me­lakukan restruk­turisasi investasi, zooning maupun land organization yang meng­un­tungkan in­terest pemilik modal. Sebaliknya, masyarakat menyaksikan mis­kinnya kreatifitas penentu kebijakan dalam soal mengalirkan instrumen ekonomi bagi mobilitas masyarakat yang selama ini tersubordinasi.
Partai politik dalam hal ini seharusnya bisa menempatkan diri sebagai kendaraan masyarakat yang terpinggirkan tersebut dan mendorong mereka agar bisa menjadi kekuatan civil society yang kuat. Namun sejauh ini tidak terjadi sebagaimana yang diharapkan. Partai politik ternyata juga memiliki interestnya sendiri yang berbeda dengan interest konstituen mereka. Partai politik sibuk menghimpun syarat-syarat eksistensial mereka sendiri sebagai manifestasi dari moral-selfishness yang kuat di kalangan politisi. Apa yang terjadi kemudian adalah politik untuk politisi itu sendiri –politics for itself, dan bukan politics for common good –politik untuk kebaikan bersama.[21]
Setidak-tidaknya untuk saat ini, masyarakat tersubordinasi tidak bisa lain selain harus menolong dirinya sendiri. Kelompok ini harus berusaha membuka jalan menuju apa yang disebut Dryzek (1996) dengan the progressive inclusion of various groups and categories of people in poli­tical life –mengupayakan pelibatan secara pro­gresif kekuatan tersubordinasi ke dalam kancah kehidupan politik. Tentu saja usaha tersebut akan lebih ringan jika partai politik, organisasi dan ber­bagai gerakan sosial menyiapkan diri sebagai kendaraan atau instrumen. Bersama-sama  mereka yang terpinggirkan memberi tekanan kepada para penentu kebij­a­k­an agar mengarahkan instrumen ekonomi dan sumber-sumber perubahan secara lebih berkeadilan.

Kesimpulan
            Penguatan civil society merupakan keniscayaan bagi negara yang ingin membangun demokrasi yang kokoh. Bagi umat Islam, penguatan civil society akan bermakna menjadi penguatan kesadaran ekonomi politik karena penguatan civil society berarti mengangkat ekonomi dan bargaining politik mayoritas warga negara di Indonesia, dan notabene mayoritas warga itu beragama Islam.
            Penguatan civil society, akan terjadi manakala kesenjangan ekonomi politik dapat dihindari. Selama ketimpangan itu masih terjadi maka akan sulit membangun kultur civil society yang menekankan kepada cara hidup saling percaya (trust), menyelesaikan masalah berdasarkan konsensus dan bukan kekerasan, membangun peradaban berdasarkan kebebasan dan iklim yang damai. Budaya politik yang bertolak belakang dengan kultur civil society, seperti penggunaan kekerasan dalam penyelesaian konflik, pemaksaan kehendak, lemahnya tradisi konsesus, lebih disebabkan karena lemahnya penyelesaian ketimpangan ekonomi politik yang terjadi di negeri ini.
            Memasuki era reformasi, kecenderungan menguatnya peran partai politik kian terasa. Namun, sejauh ini belum bisa menjelma menjadi agen penguatan civil society sebagaimana yang diharapkan. Sementara itu kekuatan pasar cenderung menerapkan hukum pasar bebas yang kurang menguntangkan lapisan ekonomi lemah (mustadh’afin). Bahkan kekuatan mereka mampu menghegemoni negara dan juga kekuatan politik untuk melindungi kepentingan mereka.
            Peluang memperkuat civil society ke depan, lebih ditentukan oleh tingkat kesadaran politik masyarakat itu sendiri, terutama kesadaran politik umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia. Dengan demikian, faktor pendidikan, khususnya pendidikan politik di kalangan ummat Islam menjadi sesuatu yang relevan dijadikan instrumen penguatan civil society.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, R. O’G Benedict,
Kuasa Kata: Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000.
Baudrillard, Jean,
Galaksi Simulacra, Yogyakarta: LKiS, 2001
Casanova, Jose,  
Public Religion in the Modern World, Chicago and London: The University of Chi­cago Press, 1994.
Colombijn, Freek dan J. Thomas Lindblad (eds),
Roots of Violence in Indonesia, Singa­pore: ISEAS, 2002.
Dant, Tim,
Knowledge, Ideology and Discourse: A Sociological Perspective, London: Routledge, 1991
Effendy, Bahtiar,
Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
Effendy, Bahtiar,
Teologi baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi, Yogyakarta: Galang Press, 2001.
Fakih, Mansour,
Bebas dari Neoliberalisme, Yogyakarta: Insist Press, 2003.
Fukuyama, Francis,
dalam The Great Disruption: Human Nature and the Reconstruction of Social order, New York: The Free Press, 1999.
Haris, Syamsuddin,
“Politicization of Religion and The Failure of Islamic Parties in The 1999 General Election,” dalam Hants Antlov dan Sven Cederroth, Elections in Indonesia: The New Order and beyond, London and New York: RoutledgeCurzon, 2004.
Hidayat, Komaruddin,
"Zero Trust Society," Kompas, 18 September 2000.
Hobbes, Thomas
kutip Francis Fukuyama, The Great Disruption: Human Nature and The Reconstruction of Social Order, New York: The Free Press, 1999.
Keane, John,
Civil society: Old images, New Visions, california: Stanford University Press, 1998.
King, Dwight,
“The Elections of 1955 and 1999: Similarities and Continuities,” makalah disampaikan dalam pengukuhan Habibie Center, Jakarta 22-24 Mei 2000, dalam Leo Suryadinata, Elections and Politics in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2002.
Kuntowijoyo,
Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991
Maarif, Syafi'i,
Islam dan Politik di Indonesia, Pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.  
Maliki, Zainuddin,
Penaklukan Negara Atas Rakyat, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998.
Maliki, Zainuddin,
Agama Priyayi:Makna Agama di tangan Elite Penguasa, Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004.
Maliki, Zainuddin,
Politikus Busuk: Fenomena Insensibilitas Moral Elite Politik, Yogyakarta: Galang Press, 2004. 
Muis, A.,
"Predatory Democracy," Kompas, Selasa, 30 Januari 2001.
Nordholt, Henk Schult,
”A Genealogy of Violence,” dalam Roots of Violence in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2002.
Rachman, Budhy Munawar,
Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Srigunting, 2004
Rahardjo, Dawam,
Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, Bandung: Mizan, 1993.
Surbakti,  Ramlan,
“Government and Politics: Formal Political institutions,” dalam Richard W. Baker dkk. Indonesia the Challenge of Change, Singapore: ISEAS, 1999.
Syahdeini, Sutan Remy,
“Menelusuri Sumber Kemandirian Bank Indonesia,” dalam Politik dan BLBI, Jakarta:x-Biz, 2000.
Weber, Max, "Wirstschaft und Gesselschaft,
dalam Randall Collins, Weberian Sociological Theory, Cambridge University Press: 1990
Wahab, Solichin Abdul,
Ekonomi Politik Pembangunan: Bisnis Indonesia Era Orde Baru dan di Tengah krisis Moneter, Malang: Brawijaya University Press, 1999.


[1] Ramlan Surbakti,  “Government and Politics: Formal Political institutions,” dalam Richard W. Baker dkk. Indonesia the Challenge of Change, Singapore: ISEAS, 1999, hal. 61-78.
[2] Lihat Zainuddin Maliki, Penaklukan Negara Atas Rakyat, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998.
[3] John Keane, Civil society: Old Images, New Visions, California: Stanford University Press, 1998, hal 6-7.
[4] Hierocrat adalah istilah Weber untuk menggambarkan tokoh berbasis sosial keagamaan yang berhasil me­ng­ambil puncak kekuasaan politik. Berbeda dengan caesaro­papism —rezim sekuler atau tokoh politik yang berasal dari pinggiran ko­mu­nitas keagamaan, kendati demikian mampu juga membangun kuasa wibawa di tengah kehidupan kegamaan. (lihat Max Weber, "Wirstschaft und Gesselschaft," dalam Randall Collins, Weberian Sociological Theory, Cambridge University Press: 1990, hal. 57-8)
[5] Francis Fukuyama dalam The Great Disruption: Human Nature and the Reconstruction of Social order, New York: The Free Press, 1999, hal 16.
[6] Baca Komaruddin Hidayat, "Zero Trust Society," Kompas, 18 September 2000.
[7] Di tengah merosotnya legitimasi militer di negeri ini, justru muncul para-militer dan bahkan semacam milisi yang dibentuk sejumlah organisasi massa dan partai politik seperti Banser, Garda Bangsa, Satgas PDI-P, Kokam, Gerakan Pemuda Ka'bah dari milisi partai, Lasykar Jihad, Front Pembela Islam (FPI), Front Hisbullah dari milisi Islam. Kelompok Kristen misalnya muncul Lasykar Yesus Kelelawar Hitam di Poso, dan sejumlah lasykar Kristen di daerah-daerah kon­flik Islam-Kristen di Ambon dan Maluku Utara. Rakyat Irian Jaya membentuk milisi, meski tak dipersenjatai, seperti Satgas Papua Merdeka yang mengorganisir diri mirip organisasi militer. Menarik pada era ini juga muncul para-militer atau milisi yang pem­bentukannya tidak atas dasar alasan politik, melainkan ekonomi.  Di Mataram mis­al­nya, muncul Milisi Bujak dan Amphibi. Bujak me­leng­kapi puluhan ribu anggotanya dengan senjata dan handy talkie,untuk memburu para penjarah dan maling-maling ternak. Demikian juga Pasukan Berani Mati (PBM) dengan basis massa pendukung Gus Dur. Kelompok ini ingin mempertahankan Gus Dur sebagai presiden keempat sampai masa akhir jabatannya, 2004.
[8] Lihat Thomas Hobbes kutip Francis Fukuyama, op.cit., hal.6.
[9] Lihat A. Muis, "Predatory Democracy," Kompas, Selasa, 30 Januari 2001.
[10] Kuntowijoyo, op.cit., hal 82.
[11] Abdullah, 1991 dan pergeseran formasi sosial lihat Priyono dalam Ibid., hal 30-31.
[12] Lihat Zainuddin Maliki, Agama Priyayi: Makna Agama di tangan Elite Penguasa, Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004.
[13] Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, Bandung: Mizan, 1993, hal 234-235.
[14] R. O’G Benedict Anderson, Kuasa Kata: Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000.
[15] Freek Colombijn, dan J. Thomas Lindblad (eds),         Roots of Violence in Indonesia, Singa­pore: ISEAS, 2002.
[16] Henk Schult Nordholt, ”A Genealogy of Violence,” dalam Roots of Violence in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2002, hal 34.
[17] Tim Dant, Knowledge, Ideology and Discourse: A Sociological Perspective, London: Routledge, 1991, hal 11
[18] Mansour Fakih, Bebas dari Neoliberalisme, Yogyakarta: Insist Press, 2003.
[19] Sutan Remy Syahdeini, “Menelusuri Sumber Kemandirian Bank Indonesia,” dalam Politik dan BLBI, Jakarta:x-Biz, 2000, hal 231-235.

[20] Solichin Abdul Wahab, Ekonomi Politik Pembangunan: Bisnis Indonesia Era Orde Baru dan di Tengah krisis Moneter, Malang: Brawijaya University Press, 1999, hal 28-29.
[21] Zainuddin Maliki, Politikus Busuk: Fenomena Insensibilitas Moral Elite Politik, Yogyakarta: Galang Press, 2004, hal 16-17. 

Tuesday, June 19, 2012

Community-based Disaster Risk Reduction


Oleh: Zainuddin Maliki


          Today there was an increase environmental crisis that pose a growing number and intensity of catastrophic events. Environmental crisis, among others, characterized by climate change, the transition of seasons can not be predicted, elevated sea levels, and uncontrolled forest fires. The environmental crisis has led to a variety of critical situations. Not infrequently, then turned into a huge disaster and the rapidly accident. All the factors put the people, systems and structures become dysfunctional. Not just health, and economic prosperity but the survival of a society is threatened.
          Perlindungan masyarakat dari ancaman bencana haruslah dilakukan oleh semua pihak, pemerintah, pengusaha maupun masyarakat. Tentu saja yang paling mendesak adalah menumbuhkan kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk melindungi diri sendiri dari ancaman dan resiko bencana. 
Setidak-tidaknya ada 5 hal yang menyebabkan pentingnya melakukan penguatan masyarakat dalam melindungi diri sendiri dari bencana.
         Pertama, masyarakat itu sendiri yang menjadi korban dari bencana. Maka yang bergerak pertama kali merespon bencana adalah masyarakat dan bukan pihak lain. Team reaksi cepat yang disiapkan pemerintah acapkali datang terlambat. Padahal masyarakat sudah harus merespon bencana sejak menit-menit pertama. Kita membutuhkan masyarakat memiliki kemampuan melakukan pengurangan resiko bencana sebelum bantuan orang lain tiba. Masyarakatlah yang terkena bencana, dan paling awal harus berbuat. Oleh karena itu masyarakat harus memiliki kemampuan penguasaan sumber daya, cara dan kekuatan untuk mengurangi tingkat risiko bencana. Masyarakat harus memiliki cara mempertahankan dan mempersiapkan diri, mencegah, menanggulangi, meredam, serta dengan cepat memulihkan diri dari akibat bencana. 
         Kedua, tidak banyak yang bisa diharapkan dari pemihakan kebijakan pembangunan, karena kebijakan pembangunan –khususnya industri ekstraktif, sebagaimana digambarkan di muka acapkali tidak berpihak kepada perlindungan kepentingan dan keselamatan masyarakat banyak. Kenyataan ini membenarkan pemikiran para penganut Marxian, bahwa pada akhirnya, yang bisa membela dan melindungi rakyat kecil, adalah rakyat kecil itu sendiri. Dalam konflik kepentingan antar klas, maka klas pekerja dan wong cilik harus melindungi diri sendiri. Sulit mengharap kepekaan kalangan elite, wong gedhe, pemilik modal atau kaum borjuis untuk memperhatikan kepentingan dan keselamatan rakyat kecil, klas pekerja atau kaum proletar. Dalam konteks inilah maka menjadi penting dilakukan penguatan masyarakat kecil agar mereka memiliki  kemampuan dan daya tahan menghadapi krisis lingkungan dan bencana.[1]
        Ketiga, membangun ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana, yang paling efektif apabila berbasis masyarakat (bottom up approach). Intervensi dari pemerintah dan pihak lain (top down approach) –sebelum, pada saat tanggap darurat maupun paska bencana, acapkali a-historis sehingga bisa menjadi tidak berjalan karena tidak memperhatikan harapan dan konstruk masyarakat tentang bencana. Banyak pengalaman menunjukkan masyarakat kehilangan kemandiriannya ketika terlalu banyak program intervensi –apalagi intervensi itu diwujudkan dalam bentuk program yang bersifat karitatif. Masyarakat tidak bisa menjadi subyek bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu, kita perlu mendengar saran kalangan pemikir teori kritis (critical theory) yang menyatakan bahwa meningkatkan kualitas hidup manusia –termasuk di dalamnya cara merespon bencana, haruslah dengan cara mengembangkan dan meningkatkan kesadaran diri (self-consciousness) dan memahami perkembangan sosial politik yang ada, yang pada muaranya “manusia harus dapat menjadi subyek dan secara aktif menentukan cara hidupnya sendiri.”[2]
         Keempat, paradigma penanggulangan bencana bergeser dari tanggap darurat kepada pendekatan mitigasi dan preparadness.[3] Dalam upaya melakukan mitigasi dampak bencana itulah, sangat diperlukan pemahaman terhadap prinsip-prinsip dinamika yang berubah begitu cepat dalam fenomena alam. Dalam konteks mitigasi, maka perubahan iklim yang menjadi sebab munculnya bencana tersebut seharusnya menjadi pusat perhatian.
        Kelima, masyarakat selalu memiliki pengetahuannya sendiri (indigenous knowledge) dan strategi atau cara mereka sendiri (coping strategis) dalam merespon bencana. Pengetahuan mereka tak jarang jauh lebih bagus dibanding yang dimiliki ekspert di bidang bencana sekalipun. Dengan pengetahuan dan strategi mereka sendiri itulah yang menyebabkan mereka survive. Begitu banyak masyarakat akhirnya bisa bertahan dengan survival strategy –nya sendiri. Itulah sebabnya Brian Ward, mantan Direktur Asian Disaster Preparadnes Center, sangat apresiatif terhadap keunggulan petani di Bangladesh, bukan hanya dalam memahami betapa rentan mereka menghadapi bencana, tetapi juga dalam mengatur strategi merespon bencana. Brian bahkan berani mengatakan petani di Bangladesh memiliki pengetahuan lima belas tahun lebih maju dibanding seorang Ph.D.[4]

             [1] Baca pemikiran pemihakan terhadap mereka yang lemah dari kalangan pemikir Marxian dalam Zainuddin Maliki, Rekonstruksi Teori Sosial Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012. Mengenai pandangan pemikir Marxian tentang kerusakan lingkungan dan pengasingan masyarakat lokal dan para petani dari tanah ulayatnya sendiri akibat eksploitasi ekonomi kaum kapitalis dapat dibaca dalam John Hannigan, Environmental Sociology, London and New York: Routledge, 1995, hal. 8. 
[2]  Ibid, hal. 223 
[3] Termotivasi dari kehancuran 26 Desember 2004 akibat gempa dan Tsunami Samudra Hindia, paradigma bencana bergeser dari pengelolaan tanggap bencana (Disaster Response) menjadi pengurangan resiko bencana (Disaster Risk Reduction), lihat DIBI BNPB-UNDP, 2010.
            [4] Survival strategy warga pinggiran Sungai Jamuna Bangladesh cukup unik. Mereka sudah mencari shelter sebelum bencana datang. Yang mereka lakukan penduduk tepi sungai Jamuna itu adalah mengawinkan anaknya dengan keluarga yang berada di daerah aman. Oleh karena itu ketika terjadi bencana sungai Jamuna mereka sudah punya pilihan tempat evakuasi. Lihat John Twigg, Disaster Risk Reduction: Mitigation in the Development and Emergencies Programming, London: Humanitarian Practice Network ODI, 2004, hal 131-135.